SELAMAT DATANG DI BLOG KAMUDA MORENG

Selasa, 19 April 2011

ame lupa diri

Seorang kakek Dayak dengan alat pahatnya
Fungsi Patung Bagi Suku DayakSuku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.
Patung AjimatPatung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung Kelengkapan UpacaraPatung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
Seni Pahat & Patung

Patung blontang suku Dayak ini mengingatkan kita pada totem yang dimiliki oleh suku Indian di Amerika.
Patung Alat UpacaraPatung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.


Motif Pahatan Suku DayakSuku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya. Selengkapnya...

Jumat, 01 April 2011

Tato Bagi Masyarakat Dayak

Oleh: Muhlis Suhaeri

Sekelompok orang menari. Langkah dan geraknya ritmis. Mereka berderet dalam langkah-langkah teratur. Pakaian para penari khas dan unik. Ada sulaman, manik-manik dan rupa warna berpadu. Gelang dan giwang juga memenuhi tangan dan kaki penari.

Dua orang pemusik memegang Sape’. Ini jenis alat musik khas Dayak Kayaan yang bentuknya menyerupai gitar. Ada beberapa senar. Diantara yang menari, seorang perempuan tua, penuh tato di sekujur tangan dan kaki, ikut bergabung. Gerakannya masih lincah dan bersahaja. Ia seolah membimbing penari muda, mengikuti gerakannya.

Itulah sebuah siang, pada pertengahan bulan Juni di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Hari itu, mereka berkumpul menggelar Gawai Dayak Kayaan. Setiap warga Dayak Kayaan di Pontianak, diharapkan hadir dalam acara itu. Berbagai upacara dan ritual adat digelar.


Dalam buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, selain di Kalbar, subsuku Dayak Kayaan juga ada di Kalteng, Kaltim dan Sarawak, Malaysia. Subsuku Dayak ini cukup terkenal bagi kalangan peneliti.

Dalam masyarakat Dayak Kayaan, ada tiga tingkatan strata sosial. Hipi, bangsawan atau setingkat raja. Panyin, orang bisa. Dan, Diivan atau budak. Strata sosial ini, punya kemiripan dengan Dayak Taman, Lau’, dan Tamambalo. Namun, dalam perkembangannya, strata Diivan, sudah ditiadakan.

Dayak Kayaan memiliki budaya dan kesenian yang cukup dikenal. Tak hanya bagi kalangan masyarakat Dayak, juga masyarakat diluar Dayak. Salah satu contoh adalah seni tato. Seni tato dinamakan Tedak. Ini untuk kata benda. Kalau kata kerjanya, Nedak. Seni tato bagi masyarakat Dayak Kayaan, terutama dilakukan bagi perempuan.

“Dalam adat dan kesenian kami, perempuan harus ditato,” kata Ny Berdanetha JC Oevaang Oeray. Berdanetha perempuan Dayak Kayaan, kelahiran Kecamatan Putussibau, Kapuas Hulu. Ia istri Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray, gubernur pertama dari suku Dayak. Berdanetha menikah dengan Oevaang Oeray pada umur 14 tahun. Namun, ia tak tahu persis tanggal kelahirannya. Ia memiliki tato di kedua tangan dan kakinya.

Dulu, ia tinggal di Rumah Betang di Tanjung Kuda, Putussibau. Rumah tradisional masyarakat Dayak bentuknya memanjang. Karenanya, disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang. Seperti kebanyakan rumah Betang Dayak, bangunan rumah terletak di pinggir sungai. Yaitu, di Sungai Mendalam.

Masyarakat Dayak hidup secara komunal. Rumah Betang Tanjung Kuda, ada 90 pintu. Rumah dibangun dari kayu Belian. Ini jenis kayu paling keras dan bisa tahan ratusan tahun, meskipun terendam dalam air sekalipun.

Sayangnya, rumah itu tak ada lagi. Rumah terbakar, gara-gara dua remaja sedang memasak di dapur, dan tidak menjaganya. Ia tak ingat pasti, tahun berapa terbakar. Yang pasti, setelah Jepang masuk dan sebelum kemerdekaan. Berarti antara 1942-1945. Menurutnya, rumah itu bagus, besar dan kuat. Paling bagus diantara rumah betang lainnya.

Bagi perempuan Dayak Kayaan, ketika usia menginjak usia 10 tahun, mereka harus ditato. Tato bagi wajib hukumnya. Perempuan yang tidak ditato, dianggap belum dewasa. Kalau tak ditato, mereka tak dianggap dalam lingkungan sosial masyarakat di sana. “Akan diledek dan jadi ejekan,” kata Berdanetha.

Bambang Bider, seorang aktivis Dayak dari LSM Heart of Borneo menyatakan, tato semacam representasi spiritualitas terhadap yang maha tinggi. Semacam tuntunan bagi mereka, ketika meninggal dunia. “Tato menjadi peta dan jalan menuju Apo Lagam atau surga,” kata Bider.

Motif tato Dayak Kayaan, menunjukkan kelas sosial suatu masyarakat. Seorang Hipi atau bangsawan, tentu berbeda dengan kelas sosial biasa, ketika membuat tato. Begitu juga motif yang dipakai.

D. Uyub, lelaki Dayak Kayaan kelahiran Sungai Mendalam, menyatakan bahwa motif tato tidak saja berfungsi sebagai penerang dalam perjalanan di alam baka, hiasan tubuh agar tampak cantik, tapi juga untuk melihat strata sosial. Perempuan itu dari kasta Hipi atau masyarakat biasa. penggunaan motif tato pada kaum perempuan Dayak Kayaan, harus sesuai dengan tingkat strata sosialnya. Tujuannya, selain membedakan tingkat status sosial, juga memiliki makna religi tertentu.

Untuk melihat kasta perempuan Dayak Kayaan, bisa dilihat dari jenis dan motif tatonya. Perempuan Hipi menggunakan beberapa motif. Pertama, Usung Tingaang. Jenis motif ini berbentuk paruh burung Enggang. Ini burung endemik di Kalimantan, yang melambangkan tanda maran atau mulia. Kedua, Kajaa’ Lejo. Bentuknya seperti bekas telapang kaki harimau. Motif ini melambangkan kekuatan dan kegagahan. Kegagahan terlambangkan dengan kehebatan seseorang. Tapak harimau sudah menginjak paha, tapi tidak berbahaya. Karenanya, motif Kajaa’ Lejo menjadi motif tertinggi, pada kalangan perempuan Hipi. Ketiga, Usung Tuva’. Tuva’ sejenis tumbuhan yang akarnya bisa dipakai menuba atau meracun ikan. Motif ini melambangkan kekuatan jiwa, bagi seorang Dayung atau orang yang memimpin doa secara adat. Motif serupa angka delapan atau kurfa. Keempat, Usung Iraang. Motif ini berbentuk piramida. Memiliki ujung tajam. Makna motif, diyakini bisa memberi semangat tinggi, dan kemampuan menganalisa berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Kelima, Tena’in Ba’ung. Bentuk motif ini melingkar bulat. Persis lingkaran obat nyamuk bakar. Motif ini mengambil makna usus ikan buntal. Ini sebagai tanda, perempuan siap berkeluarga, dan siap hamil. Ikan Ba’ung perutnya besar, persis perempuan hamil. Keenam, Iko’. Motif ini berbentuk gelombang. Digunakan sebagai batas antara motif satu dengan lainnya. Motif Iko’ tak punya makna khusus.

Motif tato perempuan Panyin, bisa menggunakan motif perempuan Hipi, selain motif Kajaa’ Lejo dan Usung Tingaang. Dua motif itu tak bisa dipakai perempuan Panyin. Akibatnya bisa celaka.

“Jika menggunakan motif tato sembarangan, diyakini akan mendapatkan mala petaka parit,” kata Uyub. Orang tersebut seluruh kulit tubuhnya akan berwarna kuning. Muka tampak pucat, serta perut besar. Penyakit itu diyakini bakal diderita seumur hidup.

Letak tato biasanya pada bagian tangan, kaki dan paha. Letak motif Usung Tinggang pada perempuan Hipi, terletak di paha kiri dan kanan. Tepatnya di atas lutut. Motif Kajaa’ Lejo, di paha kiri dan kanan bagian depan. Motif ini biasanya bercampur dengan Usung Tuva’ dan Usung Iraang, yang juga bisa dipakai kaum Panyin.

Letak motif tato perempuan Panyin, ada di beberapa bagian. Usung Tuva’ terletak di paha kiri dan kanan. Tena’in Ba’ung biasanya dipakai sebagai pembatas dengan motif Usung Tuva’, terletak di paha bagian belakang. Usung Iraang dipakai sebagai pembatas antara motif satu dengan lainnya, bercampur dengan Usung Tuva’dan biasa disebut Iko’. Terletak pada paha bagian depan. Bermakna menandakan ujung bagian yang tajam. Hal itu sesuai dalam Tekna Lawe Idaa Beraan, atau cerita sastra Lawe Idaan Beraan. Lawe adalah seorang tokoh dalam cerita Idaan Beraan.

Peletakan motif Usung Tuva’, Tena’in Ba’ung, Usung Iraang dan Iko’, pada kalangan Hipi bisa sama dengan kaum Panyin.

Pada usia 10 tahun, perempuan Dayak Kayaan ditato pada bagian kaki. Biasanya dari lingkaran engkel hingga betis atas. Ada juga yang hingga ke paha. Kaki bagian jari dan bagian atas juga kena tato. Setelah 12-13 tahun, mulai ditato pada bagian tangan.

Tato dibuat ketika tidak ada kegiatan. Bukan pada musim berladang. Tukang tato biasanya perempuan. “Mereka memiliki kemampuan yang diturunkan secara turun temurun. Tidak boleh sembarangan orang,” kata Bernadetha.

Alat membuat tato terbuat dari kayu. Ada tangkai pemukul dari kayu. Namanya Lutedak. Di ujung kayu ada jarum tato. Jarum dicelupkan ke tinta, setelah itu mengikuti ukiran yang sudah ada. Motif tato berupa cetakan di kayu. Kulit yang akan ditato, dicap dulu dengan alat cetakan ini. Setelah itu, jarum tato mengikuti gambar. Cetakan tato disebut Klinge. Ukuran Klinge sudah paten.

Tinta untuk membuat tato, dikumpulkan dari asap lampu pelita. Lampu ini bahan bakarnya tanah, dan ada sumbu pada ujungnya. Asap yang keluar dari ujung sumbu ditampung. Ketika dipakai, asap dicampur dengan air. Meski dari asap pelita, tapi kualitasnya bagus. Pernah suatu ketika, Bernadetha tersiram air panas. Namun, tatonya tidak apa-apa.

Tak ada pantangan ketika orang ditato. Orang yang ditato, tak boleh bicara. Alasannya, dikhawatirkan tato tak jadi dan tak tuntas, karena melanggar aturan. Ibarat orang sedang menggoreng dan mempersiapkan sebuah makanan, tidak boleh diajak bicara. Bagian yang sudah ditato, dibersihkan di sungai, untuk hilangkan kotoran dan daki.

“Meskipun baru ditato, tapi tak bisa hilang, saat dibersihkan di sungai. Heran, aneh juga,” kata Berdanetha.

Setelah ditato, biasanya bagian itu terasa bengkak. Tapi, tak menimbulkan inveksi. Obat untuk tato, beras yang disangrai atau ditumbuk halus. Lalu, beras dicampur dengan akar Bado. Ini jenis tumbuhan merambat. Cara membuatnya, akar ditumbuk dan dicampur dengan beras. Lalu, diurap dan dibalurkan ke tubuh yang telah ditato. Setelah itu, dibalurkan, seperti bedak dingin.

Tato paling sakit di kaki bagian atas, karena langsung kena tulang. Bila tidak kuat, akan menangis. Tangisan ini dilakukan sambil bernyanyi. “Hehehe......Istilahnya sambil bedayu atau menyanyi,” kata Berdanetha. Lagunya seperti menangisi orang yang meninggal.

Sekarang ini, tato tak dipakai lagi pada perempuan Dayak Kayaan. Hanya orang tua saja yang masih memikiki tato. Sebabnya? Faktor pendidikan dan pergaulan, membuat perempuan Kayaan tak lagi membuat tato di tubuhnya. “Mosok sekolah di kota, tapi lain dari yang lain,” kata Berdanetha.

Tak adanya Rumah Betang bagi komunitas masyarakat Dayak Kayaan, setidaknya turut membuat tradisi dan seni tato turut menghilang.

Selain masyarakat Dayak Kayaan, secara tradisi, tato juga dikenal di kalangan masyarakat Dayak Iban, dan Kenyah, kata Gerar Gabriel Martinus Daria.

Menurutnya, tato bagi masyarakat Dayak, lebih kepada nilai seni. Keberadaan tato sudah ada ratusan tahun lalu, seiring munculnya seni ukir pada masyarakat Dayak.

Gerar dari Kecamatan Benua Martinus di Kapuas Hulu. Ia membuat tato sejak usia 30 tahun. Menurutnya, tato merupakan tanda kebanggaan, ciri khas, dan tak ada unsur magis. Tapi, tato tidak boleh sembarangan. Misalnya, tato Naga. Kepala naga harus menghadap ke bawah. “Supaya tidak makan diri sendiri,” kata Gerar.

Dalam bahasa Dayak Martinus, Naga disebut dengan Naboaou atau mahlug penjaga air. Supaya hari tidak hujan, maka minta pertolongan pada Naboaou.

Bagi Dayak Iban, tato ada di semua badan. Selain Naga, burung Enggang atau Rangkong juga sering dibuat untuk motif tato. Terutama bagi masyarakat Dayak Iban. Mereka lebih banyak ke Sayap Enggang. Ini melambangkan keagungan. Burung Enggang merupakan simbol kesetiaan. Selama betina bertelur dan mengerami telornya, sang jantan akan selalu berada di depan sarang yang terbuat dari lubang pohon, dan mengantarkan makanan bagi betina.

Selain Enggang, gambar tato yang selalu ada di Dayak Iban adalah, Bunga Terong. Gambar ini selalu ada di dada kanan dan kiri. Ini lebih kepada nilai artistik. Namun, motif tato tidak spesifik, harus dipakai siapa. Misalnya saja Iban, bisa ditato apa saja, karena motifnya itu-itu saja.

Tato membuat ciri khas dari suatu suku orang Dayak.

Motif Dayak Kenyah berupa akar-akaran, ular dan segala binatang. Tato Dayak Kayaan lebih halus, kecil dan lebih rumit. Motifnya terutama akar-akaran. Motif akar selalu dipakai, karena orang Dayak tidak bisa dipisahkan dengan hutan dan isinya. “Jadi, aneh saja bila orang Dayak dianggap merusak hutan. Kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dengan hutan,” kata Gerar. Simbol-silmbol yang ada itulah, kemudian dimunculkan di tato. Simbol lain adalah, babi, ular dan anjing.

Tumbuhan akar, rebung, dan pakis, juga sering dijadikan motif untuk tato. Resam bentuk daunnya seperti sisir tali, dan bisa dibuat untuk kalung. Kantung Semar juga simbol yang bagus untuk membuat tato.

“Pada dasarnya, membuat tato seperti membuat motif pada Gunungan di Wayang Kulit. Ini ibarat pohon kehidupan,” kata Gerar. Ada pohon, binatang, berjajar hingga naik ke atas, seperti gambar Gunungan.

Dulu, membuat tato dengan menggabungkan 5-7 jarum menjadi satu. Setiap jarum dibatasi dan ada tandanya, setiap kedalamannya. Butuh waktu tujuh jam sampai satu hari. Tergantung pembuatannya. Namun, membuat tato biasanya tidak sekaligus. Yang paling berat adalah membuat arsir.

Orang membuat tato dari tinta Cina. Tinta ini dipakai karena sangat lengket. Orang Dayak menyebutnya Tawat. Terkadang, orang menggunakan arang batu baterei. Caranya, baterei arang dihancurkan dengan air. Namun, bahan ini, warnanya kurang bagus dan pudar.

Dulu, ada upacara adat untuk membuat tato. Namanya, Adat Batato. Adat ini lebih memohon keselamatan, sehingga ketika membuat tato tidak salah. Adat Iban, Kayaan, Kenyah, hampir sama. Dalam upacara adat ini, keluarga yang bakal ditato, menyembelih babi atau ayam. Ini merupakan bentuk dari syukuran. Di Rumah Betang, keluarga yang akan membuat tato, mengadakan syukuran, dan memberitahu komunitas keluarga lain.

Membuat tato tak sekali jadi. Upacara dilakukan tak sampai satu hari lamanya. Upacara dilakukan sekali saja, ketika orang itu akan membuat tato. Tato merupakan proses yang terus menerus. Tak sekali jadi.

Sekarang ini, ketika membuat tato, unsur adatnya sudah hilang. Namun, ada kejadian yang membuat orang bertato, dianggap preman. Zaman itu disebut Petrus atau penembak misterius. Ini era 80-an. Begitu juga dengan tradisi telinga panjang bagi perempuan Dayak di Rumah Betang. Pemerintah menganggap hal itu tidak bagus, sehingga tidak dibina.

“Sekarang ini, ada kecenderungan anak muda Dayak memiliki tato. Ada kebanggaan kalau memiliki tato,” kata Gerar.

Pada berbagai acara Gawai Dayak, selalu dilakukan pembuatan tato. Sifat dan motif tatonya kontemporer. Tato jenis ini, dasarnya tetap. “Proses tato juga berkembang sesuai dengan proses kehidupan,” kata Gerar.

Namun, sekarang ini ada yang rancu dan tidak pas. Misalnya, orang Dayak membuat tato Gergasi atau Barong dengan lidah menjulur. Lidah menjulur untuk barong dari Bali. Sekarang ini, pertatoan sudah mulai menjadi tren, seperti zaman dulu. “Yang pasti, tato Dayak tidak identik dengan preman,” kata Gerar.

Tak hanya orang Dayak biasa, tato juga melekat pada seorang biarawan. Bruder Stephanus Paiman, misalnya. Dia berasal dari Dayak Kandayatn. Biasa dipanggil Bruder Step. Ia dari Ordo Kapusin.

Menurutnya, tato bila badan tidak kuat, bisa demam dua minggu. Apalagi kalau tato di leher, orang bisa tidak sanggup makan selama dua minggu.

Orang tua tidak mempermasalahkan, ketika dia membuat tato. Mulai dari kakek, kakak, sudah biasa membuat tato.

Bruder Step ayahnya dari Dayak Kandayatn. Ketika zaman mengayau atau berburu kepala masih berlaku, kalau orang selesai mengayau, tangan kanannya diberi tanda tato. Bentuknya bulat dan di tengahnya ada dua garis silang. Lebar lingkaran sekitar dua senti meter. Tiap dapat satu kepala, bulatan itu bertambah, hingga melingkari tangan, seperti gelang. Lingkaran awal berada di ujung pergelangan tangan. Satu lingkaran bisa memuat 12 lingkaran. Setelah penuh, tanda lingkaran itu dibuat ke atas, atau arah siku. Kalau sudah penuh, harus ke atas lagi.

Bruder Step memiliki kakek bernama Kek Uban di Bantanan, Kabupaten Sambas, perbatasan dengan Biawak, Sarawak. Tatonya berbentuk gelang. Dari ujung tangan hingga ke siku.

Sebelum masuk biara, Bruder Step sudah membuat tato. Sejak SMU, mulai membuat tato berciri khas Kalimantan. Alasan ia membuat tato, karena unsur seni. Pertama kali membuat tato, antara 1974-1975. Tato pertamanya bergambar kepala Harimau di dada kanan. Ini melambangkan keberanian dan keperkasaan. Dia mengakui, dulunya suka berkelahi.

Gambar kedua burung Garuda terbang di dada kiri. Ini melambangkan kebebasan.
Ada motif Dayak Kandayatn dibuat di kaki. Di tangan kanan, ada burung Enggang yang dikitari Pakis. Di tangan kiri ada gambar Kalajengking dikitari pakis.

Membuat tato dengan motif binatang berbisa, memiliki arti tersendiri. Orang percaya, tato Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, kalau pemiliknya memukul, bisa berakibat fatal. Apalagi ada tahi lalat di tangan. Ceritanya, bakal berbahaya bila memukul orang.

Namun, bila ada tato Ular, Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, bila masuk ke wilayah pedalaman, harus izin dulu dengan masyarakat setempat. Tujuannya, supaya tidak diuji atau dicoba masyarakat. Misalnya, masyarakat mengirim Ular, Kalajengking atau lainnya.

Ketika di biara, Bruder Step memperbanyak tatonya. Alasannya, hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan aturan hidup di Kapusin. Tidak ada ajaran gereja yang melarang hal itu.

Bagi Bruder Step, membuat tato berhubungan dengan sesuatu yang ideologis. Di Ordo atau kehidupan biarawan gereja, ada yang namanya mendera diri. Sejarahnya, pada abad pertengahan, banyak pengikut dari Ordo Fransiskus, hidup mendera diri dengan cambuk. Mereka ingin merasakan penderitaan Yesus dalam perjalanan menuju Golgota.

“Saya membuat tato, karena ada darah yang saya bayangkan, adalah penderitaan Yesus,” kata Bruder Step. Ia menerapkannya dengan tato. Ketika masuk biara, ia membuat kepala Yesus dengan hiasan Mahkota Duri. Gambar itu ada di bagian perut.

Sekarang ini, ada beberapa imam yang punya tato di tubuh. Cirinya khas. Yesus Sang Gembala. Gambarnya, Yesus dengan tongkat dan dua anak domba.

Bruder Step punya tato gambar salib di pangkal tangan kanan. Gembala di dada kanan atas. Di punggung ada gambar naga dan burung Phoenix.

Suatu ketika, ada ada Master General dari Roma, Italia, John Chardou datang ke Kalimantan Barat pada 2003. Ia berkata, “Step satu-satunya Kapusin yang bertato di seluruh dunia.”

Ada beberapa pengalaman unik, dengan tato di tubuhnya. Pada 2003, Bruder Step dan Romo Ignatius Sandyawan Sumardi SJ, menjemput TKI yang diusir dari Malaysia di Tanjung Priok. Pelabuhan ini terkenal dengan para preman dan calonya. Karenanya, Bruder Step diminta maju sebagai garda depan oleh Romo Sandyawan.

Pengalaman lainnya, ketika naik bis, tidak ada penumpang yang berani duduk di dekatnya. Tapi di sisi lain, ia kerap diincar Buser atau tim buru sergap polisi.

Begitu juga ketika ia sedang jalani pendidikan Novisat di Parapat, Medan, selama satu tahun. Setelah itu, pendidikan filsafat di Pematang Siantar, Medan, selama lima tahun. Ia tinggal di asrama selama jalani pendidikan.

Di Sumatera, ada anggapan umum, orang bertato dianggap preman.

Suatu ketika ia menuju kota, ada keperluan. Saat hendak kembali ke asrama, ia kehabisan uang. Ia cari akal. Apa boleh buat, ia simpan dulu kalung rosarionya, dan memasukannya ke kantong celana. Lalu, ia membuka dua kancing bajunya, sehingga tatonya terlihat.

Kebetulan, bangunan asrama berada dekat dengan jalur angkutan. Sehingga begitu turun, ia bisa mengambil uang di asrama. Saat itu, angkutan menggunakan colt pick up, Mitsubishi Colt 300.

Setelah angkutan sampai di dekat asrama, Bruder Step bicara pada kernetnya, “Tunggu sebentar, saya ambil uang di asrama.”

Tapi, sang kernet malah tidak mau, dan langsung minta supir untuk tancap gas. Meninggalkan tempat itu.
Selengkapnya...

Kamis, 20 Januari 2011

Adat Istiadat Suku Dayak

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Selengkapnya...

Agama Dayak

Usaha-usaha agar kepercayaan lokal dapat diakui pemerintah.

Pada tanggal 6 Desember, perwakilan agama Kaharingan dari Kalimantan (Borneo) mengunjungi Departemen Agama di Jakarta dengan harapan agar kepercayaan mereka dapat diakui secara resmi oleh Negara.

Agung S. Ndorong, salah satu anggota dari perwakilan tersebut menyatakan;
"Kami mendaftarkan agama Kaharingan agar diakui oleh negara dan mendapatkan pelayanan yang sama."

Agaknya yang beliau maksudkan adalah berlakunya pencatatan kelahiran, perkawinan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk pemeluk Kaharingan agar sesuai dengan agama yang mereka pegang. Sementara ini, masyarakat Kaharingan dilihat sebagai orang-orang yang beragama Hindu oleh pemerintah, dan usaha-usaha sebelumnya untuk memberlakukan animisme sebagai golongan dalam KTP juga tidak membuahkan hasil. Arton mengatakan bahwa pemerintah daerah di Kalimantan tidak pernah membatasi kegiatan pengikut Kaharingan, namun ia berharap kalau pemerintah nasional bisa pengakuan resminya.

Arton dan 14 rekan-rekannya didampingi oleh beberapa tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang salah satunya, Agung Sasongko, berujar:

"Dalam UUD 1945, penduduk diberi kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaannya."

Menteri Agama yang tidak bisa hadir berhubung sibuk akan digantikan oleh sang Sekertaris Jenderal yang telah setuju untuk menemui delegasi tersebut.
Selengkapnya...

Minggu, 16 Januari 2011

Legenda Nek Matas Perkara dengan Hantu

Nek Matas adalah nama seorang manusia yang tinggal disebelah kiri mudik sungai Karimawatn (Sungai Mempawah). Pada jaman Nek Matas,antara manusia dengan hantu masih dapat berkomunikasi sebagai mana layaknya manusia satu terhadap yang lain masa kini.

Pada suatu saat, dimusim orang mau mencari/memilih lahan untuk berladang Nek Matas pun melihat-lihat dan mencari calon lahan yang mau digarap jadi ladang. Ia telusuri sepanjang sungai Malinsapm dan terus mudik menuju kesungai Karimawatn.

Semua tempat yang dicarinya baik dilembah, digunung, dibawas yang berbatu dan berawa semua telah digarap oleh hantu. Meskipun demikian, ia tetap saja menelusuri sungai Karimawatn mudik kehulu sampai tidak lagi menemui ladang garapan hantu. Sampailah ia disebuah tempat yang bernama Nanga Sailo/Kuala Sailo yang kini memang ada, terletak di Kec.Mempawah Hulu.
Disana Nek Matas tidak lagi menemui ladang garapan hantu,maka disitulah ia memutuskan untuk menggarap tanah perladangan dan bertanam padi. Adat untuk membuka ladang dan pondok untuk istirahat dan bermalam dibuat.

Setelah semuanya ini selesai, keesokan harinya Nek Matas mulai menebas kayu yang kecil-kecil dengan menggunakan parang sedangkan kayu yang besar-besar, harus ditebang dengan memakai beliung belum ditebangnya. Setelah beberapa hari tebasan Nek Matas sudah selesai, dan pekerjaan selanjutnya untuk menebang kayu yang besar-besar, yang harus menggunakan beliung tidak mengunakan pisu lagi. Sementara belung yang harus di pergunakan belum diberi bakah (paradahnya), karena Nek Matas belum pandai membuat bakah belung.

Beliung itu dipegang pada putingnya lalu langsung dipotongkan pada kayu yang ditebang, sehingga pekerjaan sangat lambat dan susah dilakukan. Dalam sehari, paling banyak hanya dua atau tiga pohon kayu bisa tumbang atau selesai ditebang. Meskpiun demikian, Nek Matas tetap tabah menggunakan beliuang itu karena memang tidak tahu dan terpikir bagaimana membuat paradahnya.

Kira-kira seminggu bekerja, iapun pulang untuk mengambil bahan makanan yang sudah habis selama bermalam. Kampung Nek Matas bernama Karebet Amali’, yang terletak dikaki bukit Ohak Desa Rees Kec. Menjalin sekarang. Jalan yang dilalui Nek Matas harus melintasi ladang-ladang hantu yang telah selesai ditebangi dan siap untuk dibakar.

Disalah satu ladang hantu yang dilalui Nek Matas, ia melihat sebuah beliung yang lengkap dengan paradah dan baakngnya. Nek Matas tertarik, dan membayangkan kalau alat ini digunakan pasti ia akan cepat menyelesaikan pekerjaan. Karena tidak ada yang melihat, ia mengambil beliung itu.

Nek Matas bergegas kembali ke pondok ladangnya yang agak jauh dari ladang hantu tempat ia mencuri beliung. Ia snagat senang menemukan beliung itu dan disepanjang jalan ia terus –menerus mengamati paradah dan baakng beiung milik hantu itu.

Sesampai dipondok, ia menoleh kearah ujung ladangnya yang sudah dilewati dan ia melihat seorang hantu sedang membuntutinya. Maka cepat-cepatlah ia menyembunyikan beliung supaya tidak terlihat hantu, pemiliknya. Hantu itupun sampai dipondok Nek Matas. Hantu itu kemudian bertanya “ Hai Nek Matas, mengapa engkau mencuri beliungku ? “ sahut Nek Matas “ mana ada aku meganmbil beliungmu “ tapi hantu tahu bahwa Nek Mataslah yang mencuri beliungnya. Iapun mendesak “ pasti kaulah yang mencurinya, saya melihat tidak ada orang lain yang pernah lewat diladangku “. Hantu ngotot mebuduh Nek Matas. Meskipun , Nek Matas tetap tidak mau mengaku. Manusia dan hantu ini bertengkar hebat. Akhirnya hantu memperingatkan “ kalau kau tidak mengembalikan beliungku, aku dan kawan-kawanku akan menghabiskan padimu. Semua hama (pasak, panyal, kadoko’ dan empango) akan kupanggil untuk menyerang semua padimu diladang.” Ancam hantu itu.

Mendengar ancaman itu, Nek Matas berencana mengembalikan beliung yang dicurinya. Toh ia berpikir, paradah dan baakng itu telah ditirunya pula. Tapi lain dengan hantu itu, ia tetap tidak senang dengan ketidak jujuran Nek Matas. Ia berencana menghabisi nyawanya. Hantu tetap menuntut Nek Matas secara adat yang sudah berlaku waktu itu.

Nek Matas tampaknya tidak gentar dengan ancaman hantu itu. Ia pun berkata “ baiklah, terserah kamu. Dimana saja kau menuntut aku, aku akan bersedia. Dan dimana saja kau akan mengadu, aku tidak takut “. Mendengar itu, hantu semakin marah. Kemudian hantu memutuskan tempat perkara di Karebet Amali’, dimana Nek Matas tinggal dengan waktu yang ditentukan hantu.

Setelah sampai waktu yang ditentukan, yakni malam hari, maka Nek Matas dan hantu datang di Karebet Amali’. Dipilihlah sebatang pohon yang paling besar dan sudah ada banirnya. Posisi duduk antara Nek Matas dan hantu bukan berhadap-hadapan, melainkan berlindung dibanir pohon tadi. Jadi keduanya tidak bertatap muka.

Hantu mulai mengajukan sebuah pertanyaan pada Nek Matas. “ mengapa engkau lakukan pencurian beliung ku. Bukankah itu pekerjaan yang tidak benar ?. jawab Nek Matas, “ aku memang tahu kalau mencuri itu perbuatan yang tidak benar, tetapi aku sangat tertarik dengan beliungmu yang ada paradah dan baakngya karena kami tidak pandai membuat itu dan ingin menirunya “. Sekarang, apa maumu terhadapku ? lanjut Nek Matas. Mendengar itu, hantu berani bicara. Katanya “ beliungku kau kembalikan, kalau tidak, semua padi diladangmu di nanga sailo akan kumakan habis. Aku akan menjadi hama seperti pasak, panyualm kadoko’ dan empango.”. jawab Nek Matas “ aku memang akan mengembalikan beliungmu. Tapi aku bingung, kenapa lesung itu tidak pandai berjalan ? “. Nek Matas memang berencana mengalihkan perkara supaya tidak ada keputusan, sedangkan hari semakin larut malam dan menjelang dinihari. Kalau dinihari bahkan sampai siang perkara belum putus, maka hantu tentu akan takut dan menyerah. Pikirnya.

Nek Matas memang tidak takut pada malam, apalagi siang hari. jadi memang siasatnya untuk mengulur-ngulur waktu dengan menanyakan hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal hantu.

Lau jawab hantu “ memang selama ini lesung tidak pernah berjalan, lalu kapan kau mengembalikan beliungku ? “ jawab Nek Matas, selama lesung belum bisa berjalan, selama itu pula beliung ini belum ku kembalikan. Mendengar itu, hantu heran dan marah. “ kalau begitu maumu, baiklah kuambil lesung dan ku buat ia bisa berjalan “ sahutnya dengan muka mengerikan.

Dan memang, lesung itu bisa berjalan. Nek Matas khawatir, tetapi ia tidak kehabisan akal. Belum sempat mengatur siasat, hantu kemudian bertkata “ sekarang kau kembalikan beliungku “. namun tak dijawab Nek Matas. Ia pun bertanya kepada hantu “ selama ini aku belum pernah mewlihat pohon bamatn ada banirnya “. hantupun mulai tidak bisa menjawab pertanyaan itu. “ benar juga, kenapa bamatn tidak ada banirnya biarpun sudah besar ? “ . waktu sudah menjelang dinihari. Saat hening itu, hantu berkata “ Hai Nek Matas, kau sudah kalah ? “. mengetahui hantu tetap mengejarnya, Nek Matas mencari akal baru. “ Oh..aku belum kalah. Aku masih puas berpikir dan aku masih bingun kenapa semua jenis buah ada tangkainya, ada daunnya, ada batangnya tetapi ada sejenis buah yakni telur tidak ada tangkainya, tidak ada daunnya dan tidak ada batangnya ? “ ujar Nek Matas. Hantu keheranan dan takut tidak mampu menjawabnya.

Benar saja, pertanyaan itu tak terjawab hantu. Selain memang tidak tahu, ia takut kesiangan. “ Padahal perkara belum putus “ rungutnya dalam hati. Seusai perkara ini, hantu itu memang berniat untuk menghabisi Nek Matas. Namun hari telah pagi, burung-burung mulai berkicau. Karena itu, hantu merubah dirinya menjadi tenggiling serai (sangat kecil) dan meninggalkan tempat perkara sambil terus menjauh dan berteriak “ ooooo…Nek Matas, ayo ikut aku “. Suara ini jelas didengar Nek Matas, lau dijawabnya “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. Hantu semakin jauh, dan tidak kelihatan lagi.

Sampai kini, masyarakat Dayak yang tinggal dikampung-kampung kalau sedang kehutan dan mendengar panggilan panjang atas namanya, padahal ia tidak tahu siapa yang memanggilnya, maka yang bersangkutan akan menjawab “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. menurut kepercayaan, kalau tidak dijawab seperti itu, yang bersangkutan akan tersesat dan sakit yang berakibat meninggal dunia.
Selengkapnya...

KAMUDA MORENG © 2011. Design by :moreng Edited By : Anto Moreng Create : Moreng