SELAMAT DATANG DI BLOG KAMUDA MORENG

Selasa, 19 April 2011

ame lupa diri

Seorang kakek Dayak dengan alat pahatnya
Fungsi Patung Bagi Suku DayakSuku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.
Patung AjimatPatung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung Kelengkapan UpacaraPatung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
Seni Pahat & Patung

Patung blontang suku Dayak ini mengingatkan kita pada totem yang dimiliki oleh suku Indian di Amerika.
Patung Alat UpacaraPatung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 - 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.


Motif Pahatan Suku DayakSuku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya. Selengkapnya...

Jumat, 01 April 2011

Tato Bagi Masyarakat Dayak

Oleh: Muhlis Suhaeri

Sekelompok orang menari. Langkah dan geraknya ritmis. Mereka berderet dalam langkah-langkah teratur. Pakaian para penari khas dan unik. Ada sulaman, manik-manik dan rupa warna berpadu. Gelang dan giwang juga memenuhi tangan dan kaki penari.

Dua orang pemusik memegang Sape’. Ini jenis alat musik khas Dayak Kayaan yang bentuknya menyerupai gitar. Ada beberapa senar. Diantara yang menari, seorang perempuan tua, penuh tato di sekujur tangan dan kaki, ikut bergabung. Gerakannya masih lincah dan bersahaja. Ia seolah membimbing penari muda, mengikuti gerakannya.

Itulah sebuah siang, pada pertengahan bulan Juni di Rumah Betang, Jalan Sutoyo Pontianak. Hari itu, mereka berkumpul menggelar Gawai Dayak Kayaan. Setiap warga Dayak Kayaan di Pontianak, diharapkan hadir dalam acara itu. Berbagai upacara dan ritual adat digelar.


Dalam buku Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat, selain di Kalbar, subsuku Dayak Kayaan juga ada di Kalteng, Kaltim dan Sarawak, Malaysia. Subsuku Dayak ini cukup terkenal bagi kalangan peneliti.

Dalam masyarakat Dayak Kayaan, ada tiga tingkatan strata sosial. Hipi, bangsawan atau setingkat raja. Panyin, orang bisa. Dan, Diivan atau budak. Strata sosial ini, punya kemiripan dengan Dayak Taman, Lau’, dan Tamambalo. Namun, dalam perkembangannya, strata Diivan, sudah ditiadakan.

Dayak Kayaan memiliki budaya dan kesenian yang cukup dikenal. Tak hanya bagi kalangan masyarakat Dayak, juga masyarakat diluar Dayak. Salah satu contoh adalah seni tato. Seni tato dinamakan Tedak. Ini untuk kata benda. Kalau kata kerjanya, Nedak. Seni tato bagi masyarakat Dayak Kayaan, terutama dilakukan bagi perempuan.

“Dalam adat dan kesenian kami, perempuan harus ditato,” kata Ny Berdanetha JC Oevaang Oeray. Berdanetha perempuan Dayak Kayaan, kelahiran Kecamatan Putussibau, Kapuas Hulu. Ia istri Johannes Chrisostomus Oevaang Oeray, gubernur pertama dari suku Dayak. Berdanetha menikah dengan Oevaang Oeray pada umur 14 tahun. Namun, ia tak tahu persis tanggal kelahirannya. Ia memiliki tato di kedua tangan dan kakinya.

Dulu, ia tinggal di Rumah Betang di Tanjung Kuda, Putussibau. Rumah tradisional masyarakat Dayak bentuknya memanjang. Karenanya, disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang. Seperti kebanyakan rumah Betang Dayak, bangunan rumah terletak di pinggir sungai. Yaitu, di Sungai Mendalam.

Masyarakat Dayak hidup secara komunal. Rumah Betang Tanjung Kuda, ada 90 pintu. Rumah dibangun dari kayu Belian. Ini jenis kayu paling keras dan bisa tahan ratusan tahun, meskipun terendam dalam air sekalipun.

Sayangnya, rumah itu tak ada lagi. Rumah terbakar, gara-gara dua remaja sedang memasak di dapur, dan tidak menjaganya. Ia tak ingat pasti, tahun berapa terbakar. Yang pasti, setelah Jepang masuk dan sebelum kemerdekaan. Berarti antara 1942-1945. Menurutnya, rumah itu bagus, besar dan kuat. Paling bagus diantara rumah betang lainnya.

Bagi perempuan Dayak Kayaan, ketika usia menginjak usia 10 tahun, mereka harus ditato. Tato bagi wajib hukumnya. Perempuan yang tidak ditato, dianggap belum dewasa. Kalau tak ditato, mereka tak dianggap dalam lingkungan sosial masyarakat di sana. “Akan diledek dan jadi ejekan,” kata Berdanetha.

Bambang Bider, seorang aktivis Dayak dari LSM Heart of Borneo menyatakan, tato semacam representasi spiritualitas terhadap yang maha tinggi. Semacam tuntunan bagi mereka, ketika meninggal dunia. “Tato menjadi peta dan jalan menuju Apo Lagam atau surga,” kata Bider.

Motif tato Dayak Kayaan, menunjukkan kelas sosial suatu masyarakat. Seorang Hipi atau bangsawan, tentu berbeda dengan kelas sosial biasa, ketika membuat tato. Begitu juga motif yang dipakai.

D. Uyub, lelaki Dayak Kayaan kelahiran Sungai Mendalam, menyatakan bahwa motif tato tidak saja berfungsi sebagai penerang dalam perjalanan di alam baka, hiasan tubuh agar tampak cantik, tapi juga untuk melihat strata sosial. Perempuan itu dari kasta Hipi atau masyarakat biasa. penggunaan motif tato pada kaum perempuan Dayak Kayaan, harus sesuai dengan tingkat strata sosialnya. Tujuannya, selain membedakan tingkat status sosial, juga memiliki makna religi tertentu.

Untuk melihat kasta perempuan Dayak Kayaan, bisa dilihat dari jenis dan motif tatonya. Perempuan Hipi menggunakan beberapa motif. Pertama, Usung Tingaang. Jenis motif ini berbentuk paruh burung Enggang. Ini burung endemik di Kalimantan, yang melambangkan tanda maran atau mulia. Kedua, Kajaa’ Lejo. Bentuknya seperti bekas telapang kaki harimau. Motif ini melambangkan kekuatan dan kegagahan. Kegagahan terlambangkan dengan kehebatan seseorang. Tapak harimau sudah menginjak paha, tapi tidak berbahaya. Karenanya, motif Kajaa’ Lejo menjadi motif tertinggi, pada kalangan perempuan Hipi. Ketiga, Usung Tuva’. Tuva’ sejenis tumbuhan yang akarnya bisa dipakai menuba atau meracun ikan. Motif ini melambangkan kekuatan jiwa, bagi seorang Dayung atau orang yang memimpin doa secara adat. Motif serupa angka delapan atau kurfa. Keempat, Usung Iraang. Motif ini berbentuk piramida. Memiliki ujung tajam. Makna motif, diyakini bisa memberi semangat tinggi, dan kemampuan menganalisa berbagai aspek sosial kehidupan manusia. Kelima, Tena’in Ba’ung. Bentuk motif ini melingkar bulat. Persis lingkaran obat nyamuk bakar. Motif ini mengambil makna usus ikan buntal. Ini sebagai tanda, perempuan siap berkeluarga, dan siap hamil. Ikan Ba’ung perutnya besar, persis perempuan hamil. Keenam, Iko’. Motif ini berbentuk gelombang. Digunakan sebagai batas antara motif satu dengan lainnya. Motif Iko’ tak punya makna khusus.

Motif tato perempuan Panyin, bisa menggunakan motif perempuan Hipi, selain motif Kajaa’ Lejo dan Usung Tingaang. Dua motif itu tak bisa dipakai perempuan Panyin. Akibatnya bisa celaka.

“Jika menggunakan motif tato sembarangan, diyakini akan mendapatkan mala petaka parit,” kata Uyub. Orang tersebut seluruh kulit tubuhnya akan berwarna kuning. Muka tampak pucat, serta perut besar. Penyakit itu diyakini bakal diderita seumur hidup.

Letak tato biasanya pada bagian tangan, kaki dan paha. Letak motif Usung Tinggang pada perempuan Hipi, terletak di paha kiri dan kanan. Tepatnya di atas lutut. Motif Kajaa’ Lejo, di paha kiri dan kanan bagian depan. Motif ini biasanya bercampur dengan Usung Tuva’ dan Usung Iraang, yang juga bisa dipakai kaum Panyin.

Letak motif tato perempuan Panyin, ada di beberapa bagian. Usung Tuva’ terletak di paha kiri dan kanan. Tena’in Ba’ung biasanya dipakai sebagai pembatas dengan motif Usung Tuva’, terletak di paha bagian belakang. Usung Iraang dipakai sebagai pembatas antara motif satu dengan lainnya, bercampur dengan Usung Tuva’dan biasa disebut Iko’. Terletak pada paha bagian depan. Bermakna menandakan ujung bagian yang tajam. Hal itu sesuai dalam Tekna Lawe Idaa Beraan, atau cerita sastra Lawe Idaan Beraan. Lawe adalah seorang tokoh dalam cerita Idaan Beraan.

Peletakan motif Usung Tuva’, Tena’in Ba’ung, Usung Iraang dan Iko’, pada kalangan Hipi bisa sama dengan kaum Panyin.

Pada usia 10 tahun, perempuan Dayak Kayaan ditato pada bagian kaki. Biasanya dari lingkaran engkel hingga betis atas. Ada juga yang hingga ke paha. Kaki bagian jari dan bagian atas juga kena tato. Setelah 12-13 tahun, mulai ditato pada bagian tangan.

Tato dibuat ketika tidak ada kegiatan. Bukan pada musim berladang. Tukang tato biasanya perempuan. “Mereka memiliki kemampuan yang diturunkan secara turun temurun. Tidak boleh sembarangan orang,” kata Bernadetha.

Alat membuat tato terbuat dari kayu. Ada tangkai pemukul dari kayu. Namanya Lutedak. Di ujung kayu ada jarum tato. Jarum dicelupkan ke tinta, setelah itu mengikuti ukiran yang sudah ada. Motif tato berupa cetakan di kayu. Kulit yang akan ditato, dicap dulu dengan alat cetakan ini. Setelah itu, jarum tato mengikuti gambar. Cetakan tato disebut Klinge. Ukuran Klinge sudah paten.

Tinta untuk membuat tato, dikumpulkan dari asap lampu pelita. Lampu ini bahan bakarnya tanah, dan ada sumbu pada ujungnya. Asap yang keluar dari ujung sumbu ditampung. Ketika dipakai, asap dicampur dengan air. Meski dari asap pelita, tapi kualitasnya bagus. Pernah suatu ketika, Bernadetha tersiram air panas. Namun, tatonya tidak apa-apa.

Tak ada pantangan ketika orang ditato. Orang yang ditato, tak boleh bicara. Alasannya, dikhawatirkan tato tak jadi dan tak tuntas, karena melanggar aturan. Ibarat orang sedang menggoreng dan mempersiapkan sebuah makanan, tidak boleh diajak bicara. Bagian yang sudah ditato, dibersihkan di sungai, untuk hilangkan kotoran dan daki.

“Meskipun baru ditato, tapi tak bisa hilang, saat dibersihkan di sungai. Heran, aneh juga,” kata Berdanetha.

Setelah ditato, biasanya bagian itu terasa bengkak. Tapi, tak menimbulkan inveksi. Obat untuk tato, beras yang disangrai atau ditumbuk halus. Lalu, beras dicampur dengan akar Bado. Ini jenis tumbuhan merambat. Cara membuatnya, akar ditumbuk dan dicampur dengan beras. Lalu, diurap dan dibalurkan ke tubuh yang telah ditato. Setelah itu, dibalurkan, seperti bedak dingin.

Tato paling sakit di kaki bagian atas, karena langsung kena tulang. Bila tidak kuat, akan menangis. Tangisan ini dilakukan sambil bernyanyi. “Hehehe......Istilahnya sambil bedayu atau menyanyi,” kata Berdanetha. Lagunya seperti menangisi orang yang meninggal.

Sekarang ini, tato tak dipakai lagi pada perempuan Dayak Kayaan. Hanya orang tua saja yang masih memikiki tato. Sebabnya? Faktor pendidikan dan pergaulan, membuat perempuan Kayaan tak lagi membuat tato di tubuhnya. “Mosok sekolah di kota, tapi lain dari yang lain,” kata Berdanetha.

Tak adanya Rumah Betang bagi komunitas masyarakat Dayak Kayaan, setidaknya turut membuat tradisi dan seni tato turut menghilang.

Selain masyarakat Dayak Kayaan, secara tradisi, tato juga dikenal di kalangan masyarakat Dayak Iban, dan Kenyah, kata Gerar Gabriel Martinus Daria.

Menurutnya, tato bagi masyarakat Dayak, lebih kepada nilai seni. Keberadaan tato sudah ada ratusan tahun lalu, seiring munculnya seni ukir pada masyarakat Dayak.

Gerar dari Kecamatan Benua Martinus di Kapuas Hulu. Ia membuat tato sejak usia 30 tahun. Menurutnya, tato merupakan tanda kebanggaan, ciri khas, dan tak ada unsur magis. Tapi, tato tidak boleh sembarangan. Misalnya, tato Naga. Kepala naga harus menghadap ke bawah. “Supaya tidak makan diri sendiri,” kata Gerar.

Dalam bahasa Dayak Martinus, Naga disebut dengan Naboaou atau mahlug penjaga air. Supaya hari tidak hujan, maka minta pertolongan pada Naboaou.

Bagi Dayak Iban, tato ada di semua badan. Selain Naga, burung Enggang atau Rangkong juga sering dibuat untuk motif tato. Terutama bagi masyarakat Dayak Iban. Mereka lebih banyak ke Sayap Enggang. Ini melambangkan keagungan. Burung Enggang merupakan simbol kesetiaan. Selama betina bertelur dan mengerami telornya, sang jantan akan selalu berada di depan sarang yang terbuat dari lubang pohon, dan mengantarkan makanan bagi betina.

Selain Enggang, gambar tato yang selalu ada di Dayak Iban adalah, Bunga Terong. Gambar ini selalu ada di dada kanan dan kiri. Ini lebih kepada nilai artistik. Namun, motif tato tidak spesifik, harus dipakai siapa. Misalnya saja Iban, bisa ditato apa saja, karena motifnya itu-itu saja.

Tato membuat ciri khas dari suatu suku orang Dayak.

Motif Dayak Kenyah berupa akar-akaran, ular dan segala binatang. Tato Dayak Kayaan lebih halus, kecil dan lebih rumit. Motifnya terutama akar-akaran. Motif akar selalu dipakai, karena orang Dayak tidak bisa dipisahkan dengan hutan dan isinya. “Jadi, aneh saja bila orang Dayak dianggap merusak hutan. Kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dengan hutan,” kata Gerar. Simbol-silmbol yang ada itulah, kemudian dimunculkan di tato. Simbol lain adalah, babi, ular dan anjing.

Tumbuhan akar, rebung, dan pakis, juga sering dijadikan motif untuk tato. Resam bentuk daunnya seperti sisir tali, dan bisa dibuat untuk kalung. Kantung Semar juga simbol yang bagus untuk membuat tato.

“Pada dasarnya, membuat tato seperti membuat motif pada Gunungan di Wayang Kulit. Ini ibarat pohon kehidupan,” kata Gerar. Ada pohon, binatang, berjajar hingga naik ke atas, seperti gambar Gunungan.

Dulu, membuat tato dengan menggabungkan 5-7 jarum menjadi satu. Setiap jarum dibatasi dan ada tandanya, setiap kedalamannya. Butuh waktu tujuh jam sampai satu hari. Tergantung pembuatannya. Namun, membuat tato biasanya tidak sekaligus. Yang paling berat adalah membuat arsir.

Orang membuat tato dari tinta Cina. Tinta ini dipakai karena sangat lengket. Orang Dayak menyebutnya Tawat. Terkadang, orang menggunakan arang batu baterei. Caranya, baterei arang dihancurkan dengan air. Namun, bahan ini, warnanya kurang bagus dan pudar.

Dulu, ada upacara adat untuk membuat tato. Namanya, Adat Batato. Adat ini lebih memohon keselamatan, sehingga ketika membuat tato tidak salah. Adat Iban, Kayaan, Kenyah, hampir sama. Dalam upacara adat ini, keluarga yang bakal ditato, menyembelih babi atau ayam. Ini merupakan bentuk dari syukuran. Di Rumah Betang, keluarga yang akan membuat tato, mengadakan syukuran, dan memberitahu komunitas keluarga lain.

Membuat tato tak sekali jadi. Upacara dilakukan tak sampai satu hari lamanya. Upacara dilakukan sekali saja, ketika orang itu akan membuat tato. Tato merupakan proses yang terus menerus. Tak sekali jadi.

Sekarang ini, ketika membuat tato, unsur adatnya sudah hilang. Namun, ada kejadian yang membuat orang bertato, dianggap preman. Zaman itu disebut Petrus atau penembak misterius. Ini era 80-an. Begitu juga dengan tradisi telinga panjang bagi perempuan Dayak di Rumah Betang. Pemerintah menganggap hal itu tidak bagus, sehingga tidak dibina.

“Sekarang ini, ada kecenderungan anak muda Dayak memiliki tato. Ada kebanggaan kalau memiliki tato,” kata Gerar.

Pada berbagai acara Gawai Dayak, selalu dilakukan pembuatan tato. Sifat dan motif tatonya kontemporer. Tato jenis ini, dasarnya tetap. “Proses tato juga berkembang sesuai dengan proses kehidupan,” kata Gerar.

Namun, sekarang ini ada yang rancu dan tidak pas. Misalnya, orang Dayak membuat tato Gergasi atau Barong dengan lidah menjulur. Lidah menjulur untuk barong dari Bali. Sekarang ini, pertatoan sudah mulai menjadi tren, seperti zaman dulu. “Yang pasti, tato Dayak tidak identik dengan preman,” kata Gerar.

Tak hanya orang Dayak biasa, tato juga melekat pada seorang biarawan. Bruder Stephanus Paiman, misalnya. Dia berasal dari Dayak Kandayatn. Biasa dipanggil Bruder Step. Ia dari Ordo Kapusin.

Menurutnya, tato bila badan tidak kuat, bisa demam dua minggu. Apalagi kalau tato di leher, orang bisa tidak sanggup makan selama dua minggu.

Orang tua tidak mempermasalahkan, ketika dia membuat tato. Mulai dari kakek, kakak, sudah biasa membuat tato.

Bruder Step ayahnya dari Dayak Kandayatn. Ketika zaman mengayau atau berburu kepala masih berlaku, kalau orang selesai mengayau, tangan kanannya diberi tanda tato. Bentuknya bulat dan di tengahnya ada dua garis silang. Lebar lingkaran sekitar dua senti meter. Tiap dapat satu kepala, bulatan itu bertambah, hingga melingkari tangan, seperti gelang. Lingkaran awal berada di ujung pergelangan tangan. Satu lingkaran bisa memuat 12 lingkaran. Setelah penuh, tanda lingkaran itu dibuat ke atas, atau arah siku. Kalau sudah penuh, harus ke atas lagi.

Bruder Step memiliki kakek bernama Kek Uban di Bantanan, Kabupaten Sambas, perbatasan dengan Biawak, Sarawak. Tatonya berbentuk gelang. Dari ujung tangan hingga ke siku.

Sebelum masuk biara, Bruder Step sudah membuat tato. Sejak SMU, mulai membuat tato berciri khas Kalimantan. Alasan ia membuat tato, karena unsur seni. Pertama kali membuat tato, antara 1974-1975. Tato pertamanya bergambar kepala Harimau di dada kanan. Ini melambangkan keberanian dan keperkasaan. Dia mengakui, dulunya suka berkelahi.

Gambar kedua burung Garuda terbang di dada kiri. Ini melambangkan kebebasan.
Ada motif Dayak Kandayatn dibuat di kaki. Di tangan kanan, ada burung Enggang yang dikitari Pakis. Di tangan kiri ada gambar Kalajengking dikitari pakis.

Membuat tato dengan motif binatang berbisa, memiliki arti tersendiri. Orang percaya, tato Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, kalau pemiliknya memukul, bisa berakibat fatal. Apalagi ada tahi lalat di tangan. Ceritanya, bakal berbahaya bila memukul orang.

Namun, bila ada tato Ular, Kalajengking atau binatang berbisa lainnya, bila masuk ke wilayah pedalaman, harus izin dulu dengan masyarakat setempat. Tujuannya, supaya tidak diuji atau dicoba masyarakat. Misalnya, masyarakat mengirim Ular, Kalajengking atau lainnya.

Ketika di biara, Bruder Step memperbanyak tatonya. Alasannya, hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan aturan hidup di Kapusin. Tidak ada ajaran gereja yang melarang hal itu.

Bagi Bruder Step, membuat tato berhubungan dengan sesuatu yang ideologis. Di Ordo atau kehidupan biarawan gereja, ada yang namanya mendera diri. Sejarahnya, pada abad pertengahan, banyak pengikut dari Ordo Fransiskus, hidup mendera diri dengan cambuk. Mereka ingin merasakan penderitaan Yesus dalam perjalanan menuju Golgota.

“Saya membuat tato, karena ada darah yang saya bayangkan, adalah penderitaan Yesus,” kata Bruder Step. Ia menerapkannya dengan tato. Ketika masuk biara, ia membuat kepala Yesus dengan hiasan Mahkota Duri. Gambar itu ada di bagian perut.

Sekarang ini, ada beberapa imam yang punya tato di tubuh. Cirinya khas. Yesus Sang Gembala. Gambarnya, Yesus dengan tongkat dan dua anak domba.

Bruder Step punya tato gambar salib di pangkal tangan kanan. Gembala di dada kanan atas. Di punggung ada gambar naga dan burung Phoenix.

Suatu ketika, ada ada Master General dari Roma, Italia, John Chardou datang ke Kalimantan Barat pada 2003. Ia berkata, “Step satu-satunya Kapusin yang bertato di seluruh dunia.”

Ada beberapa pengalaman unik, dengan tato di tubuhnya. Pada 2003, Bruder Step dan Romo Ignatius Sandyawan Sumardi SJ, menjemput TKI yang diusir dari Malaysia di Tanjung Priok. Pelabuhan ini terkenal dengan para preman dan calonya. Karenanya, Bruder Step diminta maju sebagai garda depan oleh Romo Sandyawan.

Pengalaman lainnya, ketika naik bis, tidak ada penumpang yang berani duduk di dekatnya. Tapi di sisi lain, ia kerap diincar Buser atau tim buru sergap polisi.

Begitu juga ketika ia sedang jalani pendidikan Novisat di Parapat, Medan, selama satu tahun. Setelah itu, pendidikan filsafat di Pematang Siantar, Medan, selama lima tahun. Ia tinggal di asrama selama jalani pendidikan.

Di Sumatera, ada anggapan umum, orang bertato dianggap preman.

Suatu ketika ia menuju kota, ada keperluan. Saat hendak kembali ke asrama, ia kehabisan uang. Ia cari akal. Apa boleh buat, ia simpan dulu kalung rosarionya, dan memasukannya ke kantong celana. Lalu, ia membuka dua kancing bajunya, sehingga tatonya terlihat.

Kebetulan, bangunan asrama berada dekat dengan jalur angkutan. Sehingga begitu turun, ia bisa mengambil uang di asrama. Saat itu, angkutan menggunakan colt pick up, Mitsubishi Colt 300.

Setelah angkutan sampai di dekat asrama, Bruder Step bicara pada kernetnya, “Tunggu sebentar, saya ambil uang di asrama.”

Tapi, sang kernet malah tidak mau, dan langsung minta supir untuk tancap gas. Meninggalkan tempat itu.
Selengkapnya...

Kamis, 20 Januari 2011

Adat Istiadat Suku Dayak

Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.

ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum)

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.

* Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

* Dunia Supranatural

Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
Selengkapnya...

Agama Dayak

Usaha-usaha agar kepercayaan lokal dapat diakui pemerintah.

Pada tanggal 6 Desember, perwakilan agama Kaharingan dari Kalimantan (Borneo) mengunjungi Departemen Agama di Jakarta dengan harapan agar kepercayaan mereka dapat diakui secara resmi oleh Negara.

Agung S. Ndorong, salah satu anggota dari perwakilan tersebut menyatakan;
"Kami mendaftarkan agama Kaharingan agar diakui oleh negara dan mendapatkan pelayanan yang sama."

Agaknya yang beliau maksudkan adalah berlakunya pencatatan kelahiran, perkawinan dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk pemeluk Kaharingan agar sesuai dengan agama yang mereka pegang. Sementara ini, masyarakat Kaharingan dilihat sebagai orang-orang yang beragama Hindu oleh pemerintah, dan usaha-usaha sebelumnya untuk memberlakukan animisme sebagai golongan dalam KTP juga tidak membuahkan hasil. Arton mengatakan bahwa pemerintah daerah di Kalimantan tidak pernah membatasi kegiatan pengikut Kaharingan, namun ia berharap kalau pemerintah nasional bisa pengakuan resminya.

Arton dan 14 rekan-rekannya didampingi oleh beberapa tokoh dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang salah satunya, Agung Sasongko, berujar:

"Dalam UUD 1945, penduduk diberi kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaannya."

Menteri Agama yang tidak bisa hadir berhubung sibuk akan digantikan oleh sang Sekertaris Jenderal yang telah setuju untuk menemui delegasi tersebut.
Selengkapnya...

Minggu, 16 Januari 2011

Legenda Nek Matas Perkara dengan Hantu

Nek Matas adalah nama seorang manusia yang tinggal disebelah kiri mudik sungai Karimawatn (Sungai Mempawah). Pada jaman Nek Matas,antara manusia dengan hantu masih dapat berkomunikasi sebagai mana layaknya manusia satu terhadap yang lain masa kini.

Pada suatu saat, dimusim orang mau mencari/memilih lahan untuk berladang Nek Matas pun melihat-lihat dan mencari calon lahan yang mau digarap jadi ladang. Ia telusuri sepanjang sungai Malinsapm dan terus mudik menuju kesungai Karimawatn.

Semua tempat yang dicarinya baik dilembah, digunung, dibawas yang berbatu dan berawa semua telah digarap oleh hantu. Meskipun demikian, ia tetap saja menelusuri sungai Karimawatn mudik kehulu sampai tidak lagi menemui ladang garapan hantu. Sampailah ia disebuah tempat yang bernama Nanga Sailo/Kuala Sailo yang kini memang ada, terletak di Kec.Mempawah Hulu.
Disana Nek Matas tidak lagi menemui ladang garapan hantu,maka disitulah ia memutuskan untuk menggarap tanah perladangan dan bertanam padi. Adat untuk membuka ladang dan pondok untuk istirahat dan bermalam dibuat.

Setelah semuanya ini selesai, keesokan harinya Nek Matas mulai menebas kayu yang kecil-kecil dengan menggunakan parang sedangkan kayu yang besar-besar, harus ditebang dengan memakai beliung belum ditebangnya. Setelah beberapa hari tebasan Nek Matas sudah selesai, dan pekerjaan selanjutnya untuk menebang kayu yang besar-besar, yang harus menggunakan beliung tidak mengunakan pisu lagi. Sementara belung yang harus di pergunakan belum diberi bakah (paradahnya), karena Nek Matas belum pandai membuat bakah belung.

Beliung itu dipegang pada putingnya lalu langsung dipotongkan pada kayu yang ditebang, sehingga pekerjaan sangat lambat dan susah dilakukan. Dalam sehari, paling banyak hanya dua atau tiga pohon kayu bisa tumbang atau selesai ditebang. Meskpiun demikian, Nek Matas tetap tabah menggunakan beliuang itu karena memang tidak tahu dan terpikir bagaimana membuat paradahnya.

Kira-kira seminggu bekerja, iapun pulang untuk mengambil bahan makanan yang sudah habis selama bermalam. Kampung Nek Matas bernama Karebet Amali’, yang terletak dikaki bukit Ohak Desa Rees Kec. Menjalin sekarang. Jalan yang dilalui Nek Matas harus melintasi ladang-ladang hantu yang telah selesai ditebangi dan siap untuk dibakar.

Disalah satu ladang hantu yang dilalui Nek Matas, ia melihat sebuah beliung yang lengkap dengan paradah dan baakngnya. Nek Matas tertarik, dan membayangkan kalau alat ini digunakan pasti ia akan cepat menyelesaikan pekerjaan. Karena tidak ada yang melihat, ia mengambil beliung itu.

Nek Matas bergegas kembali ke pondok ladangnya yang agak jauh dari ladang hantu tempat ia mencuri beliung. Ia snagat senang menemukan beliung itu dan disepanjang jalan ia terus –menerus mengamati paradah dan baakng beiung milik hantu itu.

Sesampai dipondok, ia menoleh kearah ujung ladangnya yang sudah dilewati dan ia melihat seorang hantu sedang membuntutinya. Maka cepat-cepatlah ia menyembunyikan beliung supaya tidak terlihat hantu, pemiliknya. Hantu itupun sampai dipondok Nek Matas. Hantu itu kemudian bertanya “ Hai Nek Matas, mengapa engkau mencuri beliungku ? “ sahut Nek Matas “ mana ada aku meganmbil beliungmu “ tapi hantu tahu bahwa Nek Mataslah yang mencuri beliungnya. Iapun mendesak “ pasti kaulah yang mencurinya, saya melihat tidak ada orang lain yang pernah lewat diladangku “. Hantu ngotot mebuduh Nek Matas. Meskipun , Nek Matas tetap tidak mau mengaku. Manusia dan hantu ini bertengkar hebat. Akhirnya hantu memperingatkan “ kalau kau tidak mengembalikan beliungku, aku dan kawan-kawanku akan menghabiskan padimu. Semua hama (pasak, panyal, kadoko’ dan empango) akan kupanggil untuk menyerang semua padimu diladang.” Ancam hantu itu.

Mendengar ancaman itu, Nek Matas berencana mengembalikan beliung yang dicurinya. Toh ia berpikir, paradah dan baakng itu telah ditirunya pula. Tapi lain dengan hantu itu, ia tetap tidak senang dengan ketidak jujuran Nek Matas. Ia berencana menghabisi nyawanya. Hantu tetap menuntut Nek Matas secara adat yang sudah berlaku waktu itu.

Nek Matas tampaknya tidak gentar dengan ancaman hantu itu. Ia pun berkata “ baiklah, terserah kamu. Dimana saja kau menuntut aku, aku akan bersedia. Dan dimana saja kau akan mengadu, aku tidak takut “. Mendengar itu, hantu semakin marah. Kemudian hantu memutuskan tempat perkara di Karebet Amali’, dimana Nek Matas tinggal dengan waktu yang ditentukan hantu.

Setelah sampai waktu yang ditentukan, yakni malam hari, maka Nek Matas dan hantu datang di Karebet Amali’. Dipilihlah sebatang pohon yang paling besar dan sudah ada banirnya. Posisi duduk antara Nek Matas dan hantu bukan berhadap-hadapan, melainkan berlindung dibanir pohon tadi. Jadi keduanya tidak bertatap muka.

Hantu mulai mengajukan sebuah pertanyaan pada Nek Matas. “ mengapa engkau lakukan pencurian beliung ku. Bukankah itu pekerjaan yang tidak benar ?. jawab Nek Matas, “ aku memang tahu kalau mencuri itu perbuatan yang tidak benar, tetapi aku sangat tertarik dengan beliungmu yang ada paradah dan baakngya karena kami tidak pandai membuat itu dan ingin menirunya “. Sekarang, apa maumu terhadapku ? lanjut Nek Matas. Mendengar itu, hantu berani bicara. Katanya “ beliungku kau kembalikan, kalau tidak, semua padi diladangmu di nanga sailo akan kumakan habis. Aku akan menjadi hama seperti pasak, panyualm kadoko’ dan empango.”. jawab Nek Matas “ aku memang akan mengembalikan beliungmu. Tapi aku bingung, kenapa lesung itu tidak pandai berjalan ? “. Nek Matas memang berencana mengalihkan perkara supaya tidak ada keputusan, sedangkan hari semakin larut malam dan menjelang dinihari. Kalau dinihari bahkan sampai siang perkara belum putus, maka hantu tentu akan takut dan menyerah. Pikirnya.

Nek Matas memang tidak takut pada malam, apalagi siang hari. jadi memang siasatnya untuk mengulur-ngulur waktu dengan menanyakan hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal hantu.

Lau jawab hantu “ memang selama ini lesung tidak pernah berjalan, lalu kapan kau mengembalikan beliungku ? “ jawab Nek Matas, selama lesung belum bisa berjalan, selama itu pula beliung ini belum ku kembalikan. Mendengar itu, hantu heran dan marah. “ kalau begitu maumu, baiklah kuambil lesung dan ku buat ia bisa berjalan “ sahutnya dengan muka mengerikan.

Dan memang, lesung itu bisa berjalan. Nek Matas khawatir, tetapi ia tidak kehabisan akal. Belum sempat mengatur siasat, hantu kemudian bertkata “ sekarang kau kembalikan beliungku “. namun tak dijawab Nek Matas. Ia pun bertanya kepada hantu “ selama ini aku belum pernah mewlihat pohon bamatn ada banirnya “. hantupun mulai tidak bisa menjawab pertanyaan itu. “ benar juga, kenapa bamatn tidak ada banirnya biarpun sudah besar ? “ . waktu sudah menjelang dinihari. Saat hening itu, hantu berkata “ Hai Nek Matas, kau sudah kalah ? “. mengetahui hantu tetap mengejarnya, Nek Matas mencari akal baru. “ Oh..aku belum kalah. Aku masih puas berpikir dan aku masih bingun kenapa semua jenis buah ada tangkainya, ada daunnya, ada batangnya tetapi ada sejenis buah yakni telur tidak ada tangkainya, tidak ada daunnya dan tidak ada batangnya ? “ ujar Nek Matas. Hantu keheranan dan takut tidak mampu menjawabnya.

Benar saja, pertanyaan itu tak terjawab hantu. Selain memang tidak tahu, ia takut kesiangan. “ Padahal perkara belum putus “ rungutnya dalam hati. Seusai perkara ini, hantu itu memang berniat untuk menghabisi Nek Matas. Namun hari telah pagi, burung-burung mulai berkicau. Karena itu, hantu merubah dirinya menjadi tenggiling serai (sangat kecil) dan meninggalkan tempat perkara sambil terus menjauh dan berteriak “ ooooo…Nek Matas, ayo ikut aku “. Suara ini jelas didengar Nek Matas, lau dijawabnya “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. Hantu semakin jauh, dan tidak kelihatan lagi.

Sampai kini, masyarakat Dayak yang tinggal dikampung-kampung kalau sedang kehutan dan mendengar panggilan panjang atas namanya, padahal ia tidak tahu siapa yang memanggilnya, maka yang bersangkutan akan menjawab “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. menurut kepercayaan, kalau tidak dijawab seperti itu, yang bersangkutan akan tersesat dan sakit yang berakibat meninggal dunia.
Selengkapnya...

Legenda Nek Baruakng Kulub

Tersebutlah hidup manusia bernama Nek Panitah dengan istrinya Nek Duniang. Sungguhpun demikian, mereka tidak campur tidur. Nek Panitah kemudian meminta anak. “ Yang-yang Si Julate, aku minta ada manjadiatn anak “ kata Nek Panitah. Tiba-tiba jadilah anak, yang kemudian diberinya nama Baruakng. Karena tidak disunat, maka nama anak itu menjadi Baruakng Kulub.

Setelah cukup besar, Baruakng kecil suka sekali bermain. Ia terus turun ke bumi, untuk bertemu Umang-Umang dan Bulit-Bulit. Mereka bertiga bermain gasing, namun Umang-Umang dan Bulit-Bulit selalu saja kalah. Baruakng tahu bahwa teman-temannya ini masih makan Kulat Karakng ( sejenis jamur/cendawan ), makanya dengan mudah ia mengalahkan mereka.
Pada suatu hari, Baruakng turun lagi kebumi. Ia lupa bahwa dibetisnya, masih terdapat sisa nasi yang melekat. Biji nasi itu terlihat oleh Umang-Umang, lalu langsung diambil dan dimakannya. Tiba-tiba ia merasa segar sekali badannya. Terus bermain, kalahlah Baruakng.
“ Kenapa ya..kamu bisa kalahkan aku ? “ Tanya Baruakng.
“ Ee..aku makan sesuatu yang melekat dibetismu. Apa sih namanya ? “ kata Umang-Umang sedikit bertanya, karena heran.
“ itulah nasi “ jawab Baruakng.
“ Seperti apa sih bentuknya nasi itu ? “ Tanya Bulit-Bulit.
“ O…sebelum nasi, namanya beras. Itulah yang kau makan tadi. Sebenarnya nasi itu tidak ketahuan melekat dibetisku “ kata Baruakng.
“ Cobalah bawakan kami barang itu, kami ingin melihatnya “ Pinta Umang-Umang.
“ payah…nanti bapak ibuku marah. Mereka menilai manusia di dunia tidka hemat. Itulah makanya mereka tidak mau memberi kalian, sebab Piroro ( selau terlantar/tidak terurus baik ).
“ Cobalah..bawakan sedikit saja. Kami ingin sekali melihatnya “ kata Bulit-Bulit.
Karena tersu didesak kedua temannya, segera Baruakng naik lagi ke atas ( dunianya, Sapangko ). Ia berlari hingga sampai ke dangau padi ibunya.
“ Mari pulang. Jangan kamu bawa padi itu, nanti bapakmu marah “ kata Nek Duniang kepada Baruakng. Mereka pulang kerumah.
Besoknya, Baruakng pergi lagi ke dangau padi bersama ibunya yang sedang bekerja sendiri diladang. Diambilnya sebiji padi itu dan disimpan di celana kulitnya. Agar tidak ketahuan bapaknya. Namun ternyata tetap ketahuan, oleh karenanya diambil lagi. Bapaknya marah besar dengan Baruakng. Merasa rindu dengan rteman-temannya, Baruakng turun lagi kebumi dan mengajak Umang-Umang dan Bulit-Bulit bermain gasing.
“ adakah kamu bawa padi itu “ Tanya Umang-Umang.
“ Tidak jadi saya bawa. Sebenarnya telah kubawa padi itu, tapi ketahuan bapakku. Lalu diambil lagi “ kata Baruakng.
“ coba kamu simpan dikulit kepala “ anu”mu “ kata Umang-Umang.
Baruakng segera naik lagi keatas. Ia segera mengambil pad itu dan menyimpannya dikulit kepala “anu”nya. Bergegas Baruakng turun ke bumi menemui Umang-Umang dan Bulit-Bulit.
“ jangan kamu tanam diluar rumah. Tanamlah didapur, agar tidak ketahuan bapakku. “ kata Baruakng berpesan.
Umang-Umang menanam padi itu pada bulan enam, tujuh dan delapan. Setelah cukup besar padi itu, keluar pelepah, keluar anak-anaknya, hingga bunting. Butir-butir padi itu terus menguning dan siap dipanen. Nek Panitah tanpa sengaja melihat kebawah dan terkejutlah ia melihat padi itu.
“ Ha..lihatlah kerja Baruakng. Sudah diberikannya manusia padi itu. Karena kamu tidak memperhatikannya, tidak kamu jaga dia bermain “ kata Nek Panitah kepada istrinya.
“ habis, mau bagaimana lagi ? “ jawab Nek Duniang.
“ itulah kamu. Brengsek, tidak hemat. Tunggu, nanti kubunuh anak itu “ kata Nek Panitah. Menangislah Nek Duniang oleh ucapan suaminya itu, ia takut anaknya dibunuh. Setelah itu, ia bertemu Baruakng.
“ larilah kamu segera, kamu sudah salah karena memberi manusia padi “ kata ibunya kepada Baruakng.
Nek Panitah membuat Pate’ ( ranjau dari potongan kayu diruncingkan untuk membunuh ), berhentilah ibunya menangis. Kemudian tubuhnya bersisik, ia menangisi lagi Baruakng. Dilihatnya ke bawah, dan terlihat Baruakng sangat ingin pulang ke atas untuk bertemu ibu bapaknya. Diturunkannya induk babi betina yang telah tua. Datanglah anaknya itu. Kemudian ia berkata.
“ itulah anak kita telah lai, tinggal adoh ( induk babi betina ) yang terkena pate’ ( ranjau ) ku “.
“ baik-baik kau nak, kalau dijalan yang lurus, tentu kau sampai ke subayatn, dan kalau ke kiri kau akan sampai ke bumi manusia “. Kata Nek Duniang.
Baruakng terus saja berjalan, ia lupa telah berjalan kekanan dan sampailah ia ke subayatn. Di subayatn, ia tertarik dengan Si Putih, gadis subayatn.
“ saya suku kamu, bolehkah kita menikah ? “ Tanya Baruakng.
“ saya juga suka kamu “ kata Si Putih.
Mereka kemudian menikah. Setelah lama menikah, ia teringat ibunya. Karena teramat rindu, ia pulang dan bertemu.
“ Kemana kamu pergi ? “ Tanya ibunya.
“ jalan yang lurus. Istriku si Putih, cantik sekali “ kata Baruakng.
“ pura-pura pulang kamu anakku. Lihatlah gutu ( kutu ) dikepalanya, ada satu rambutnya yang diatas kepala. Cabutlah, terus ia akan benci denganmu “ pesan ibunya.
Terasa pikiran si Putih untuk hamil, segera dilihatnya perutnya telah besar. Dulu, sangat lama menikah dengan Baruakng ia tak kunjung hamil sekarang ia telah hamil. Setelah berumur sembilan bulan sepuluh hari, keluarlah anak itu. Apa yang dilahirkannya ? ternyata segala burung. Heranlah Baruakng.
“ mengapa istriku melahirkan burung banyak sekali ?. sedih sekali aku melihat istriku melahirkan burung. Besok aku harus bertemu ibuku “ ujar Baruakng dalam hati. Keesokan harinya, Baruakng naik lagi ke atas dan bertemu ibunya.
“ bu, mengapa istriku melahirkan burung ? makanan apa yang harus kuberikan mereka nanti ? siapa nanti namanya harus kuberikan ? “ Tanya Baruakng.
“ oh…sebenarnya tidak sulit benar memberinya nama anakku. Tancapkan saja aur ( sejenis bamboo yang daunnya sangat kecil, runcing dan memanjang ) ke ujung pante ( halaman rumah ), lepaskanlah seekor demi seekor. Lepaskan yang tertua, maka berkata Keto. Kemudian Kohor, Caruit, Buria’. Lepaskan lagi yang tertua berkata Biang, kemudian Jantek, Rooh, Jeje, Ansit, Dugal, Tongo’, Adatn, Kijakng ” kata Nek Duniang kepada Baruakng. Itulah langkah-langkah berladang, mengerjakan padi itu, tambahnya.
“ Pulanglah kamu segera dengan istrimu itu. Kamu harus cerai, cabut rambutnya diatas kepala, ia pasti benci dengan mu.” Pesan ibunya lagi.
Kemudian datanglah bapaknya kepada Baruakng.
“ ceraikan saja istrimu itu. Turunlah kamu didunia, mengajar manusia. Kebetulan kamu telah memberi manusia padi. Kamu harus beristri lagi segera “ kata Nek Panitah.
Baruakng turun lagi, dan menikah dengan Jamani, seorang gadis dari dunia. Setelah lama bersuami-istri, Jamani hamil. Setelah cukup umur kehamilannya, ia kemudian melahirkan seorang bayi, yang diberinya nama Kulikng Langit. Kulikng Langit tumbuh dengan cepat, sehingga tidak lama kemudian ia hampir dewasa. Ia senang bermain. Didekat rumahnya, terdapat sebatang pohon langsat. Karena tertarik dan berminat untuk makan buah langsat yang telah masak, ia memanjat poho itu. Baruakng tidak tahu kalau anaknya akan memanjat pohon langsat, karena ia telah bersiap akan naik keatas, menemui orang tuanya.
“ begini istriku, aku akan naik keatas. Kalau anakm telah turun ketanah, katakana padanya, jangan dilanggar kata kakaknya ( keto,jantek dll ). Kalau ia ingin naik atau turun, jangan sekali-kali dilanggar kata kakaknya. Sehala Kohor, Jantek, Keto, Buria’, Biang, Rooh, Jeje. Sebab kalau tidak, ia akan menerima naas “ pesan Baruakng kepada istrinya.
Setelah tahu tidak ada bapaknya, Kulikng Langit masih berminat sekali untuk memanjat pohon langsat untuk mengambil buahnya. Tiba-tiba, Keto terbang tepat didepannya. Ia tahu, tetapi tetap saja ia tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. Setelah tiga kali dlarang kakaknya tetap tidak mau, Kulikng Langit tetap memanjat pohon itu. Belum sempat diatas, tiba-tiba ia terjatuh. Tubuhnya hancur menimpa batu, karena tepat diatas batu.
“ ha..mestinya kita harus beritahu ayah “ kata Keto. Setelah itu, mayat Kulikng Langit dibawa keats, menemui Nek Panitah.
“ aku ini tali nyawa, hiduplah kamu “ kata Nek Panitah. Kulikng Langit hidup kembali, tetapi ia kemudian dilarang kembali ke dunia bersama manusia.
“ Ha…kamu Baruakng, turunlah lagi kedunia. Kamu ajarkan palangkahan ( teknik menghindari naas ) segala kata burung kepada manusia “. Kata Nek Panitah. Turunlah Baruakng kedunia. Itulah hingga kini, manusia tetap mengingat kata burung bila ingin mengerjakan sesuatu, terutama bila akan memulai perladangan.
Selengkapnya...

Legenda Dayakng Guliatn

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.

“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.

bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh, aku hamil ? “ kata Dayak Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa yang dikandungnya.
Dengan sifat keibuannya, Dayak Gulinatn, tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki.
Keluarnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai bunyi petir yang sangat keras, disertai hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.

Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah bgerhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.


“ oh…janganlah. Nati tidak enak dengan kampong tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..”

Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.

“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumha “
“ baiklah “

Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang. ( ujatn darakng ).

Dari atas, Santar Mataari, gemetar hatinya melihat kepandaian Dayakng Gulinatn menari. Telah lama ia merindukan kehadiran gadis itu bersamanya. Tapi selalu saja tak ada kesmepatan.
“ nah.. ini kesempatanku mengambilnya “ kata Santak.

Nele’ kapanean dayakng gulinatn, santak mataari gangatar dalapm atinya. Ia dah ngidaman ihanya ka’ dayakang gulinatn kaluar dari kilamunya. Ia ngian maok ngicaknga’ dayakng gulinatn ka’ nagarinya, nang badama sapangko. Pas dayakng gulinatn inak nauan, santak mataari naap ia lalu nya ngicakng tarabakng ka sapangko.


Nele’ dayakang gulinatn dinaap, urakng kampokng bera. Palapi nyambar mandonya, ngibasak santak mataari. Nele’ leakoa, santak mataari dari, tarabakng. Ia inak jadi ditaap.


Akak dayakng gulinatn ngampusi’ ambeknya, gali’ ia ditaap ugak. Ambeknya ngian nya mihara gagas-gagas. Dah sangahe ari, ia batalah. Nya nalah nyangko kamenakatnya koa. Kasih sidi ia ka kamuda’ koa, gik enek dah inak bauwe’. Urakng kampkng repo ka nyangko, jukut pane tarabakng man rehatn kokot. Ia inak repo nele’ urakng kampokngnya kodo. Sangahe kali kampokngnya dinyarakng kayo, nyangko nyalamatatn man baasil ngusir kayo. Repo uralkng kampokng ka ia batambah. Salama lima balas tahutn ia mihara anak dayakng gulinatn. Nele’ kamenakatnya dah aya’, nu’ tuhanya bacurita kade’ uwe’nya dinaap urakng sapangko. “ sabanarnya kao ada ba uwe’. Apa’ nyu aku ugak inak nau’an “ nu’ tuhanya mulai’ bacurita. “ saat kao dimaranakatn, ari ujatn tarus-manarus, siakng ari malaman. Nele’ lea koa, urakng kampokng ngadaatn adat notokng. Samua batariatn, uwek nyu ugak. Karepoatn nari, ia inak sadar kade’ ada nang maok nabanana’nya. Ia dinabanan santak mataari ka sapangko “ curita nu’ tuhanya ka anak dayakng gulinatn.

Nangar curita koa, nyangko maok ngampusiak uwe’nya. Maok sidi ia batamua’ ba ia. Nya matakatn niatnya ngian ka nu tuhanya. “ sampe dimae aku tatap ampusa’ ka sapangko, ngampusiak uwekku “ janya babatak.

“ kamile ba kao barangkata’ “, ja nu tuhanya batanya’.
“ ampagi alapm” ja nyangko.

Alapm-alapm, nu tuhanya dah nyiapatn bahata nyangko. Nele’ dah siap, nyangko tarabakng ka sapangko. Sakali nangkot, ia dah sampe ka sapangko.

Santak mataari ngaruah pumputn, manyakng sidi ia namu ikatn. Satingkalakng ikatnya nya ngicakng pulakng. Karepoatn, ia kalupaatn ka urakng tumpuk. Ia inak nauan nyangko dah atakng katumpuknya ngampusik uwe’nya.
Uwek nya takajut nauan ada kamuda’ ampus ka ia. “ sae kao ngian ? “ janya batanya’. “ aku nyangko “ ja kamuda’ koa. Aku ampusak ka uwe’ku. Dah lama kami inak batamu. Jan nyangko.
“ sae uwe’nyu koa “ tanya’ nang bini koa.
“ damanya dayakng gulinatn, ia dee dinabanan santak mataari “ ja nyangko agik.
“ o..kadek leakoa, akulah uwenyu koa “ ja nang bini koa.
Nauan dah batamu ba uweknya, nyangko nangis. Uweknya nangis ugak. Nya dua batangis-tangisatn. Dah lakak nangis, nyangko batanya’ ka weknya.
“ kamae apakku ? “
“ ia ampus ngawah pumputn. Sabantar agik ia pulakng “ ja wenya.

Dah atakng ka tanga’ tumpuknya, ia nele ada urakng barahu, gik mudak sidi.

“ ngahe kita’ ka dian ? “ janya batanya’.
“ aku ngampusik apakku man uwekku “ ja nyangko.
“ eee..nangkoalah apaknyu “ ja dayakng gulinatn babatak ka nyangko.
“ ame dohok. Sae sabanarnya kamuda’ ngian. Ame pucaya’ doho “ ja santak mataari ka bininya. Manas ia kabininya kalamun pucaya’ ka urakng barahu dinganal.

“ o..ia ngian anakku nang kuningalatn dee ka dalapm kilamu. Aku gik nape’ sampat naap ia, kao dah naikatn aku ka keatn “ ja dayakng gulinatn.

“ kadek leakoa, gagaslah. Dirik barajaki ugak batamu ba ia . E.. Kao, nyangko, makatn boh ikatn ngian kade kao batol anakku “ ja santak mataari nele nyangko. Nyanaap ikatn patukng nang ayaknya ampat jarik. “ ngian, talatn bolat “ janya. Ia maok munuha’ nyangko.

Nyangko naap ikatn pautkng koa, nya nalatn. Nalos. Ua’ ngian ikatn patukng. Nalos. Da’ paknya manggiling nele nyangko labih jago dari ia.

“ kadek leakoa, kao batol anakku “ janya. Lalu nya nyuruh nyangko mabala ikatn nang nya namu. Uweknya tukang suman. Dah masak, ikatn nya makatn batiga. Dah laka’ makatn, “ ampagi dirik mantokng lintongan “ ja kata paknya nele nyangko.
“ au’ lah “ ja nyangko.

Nyangko singaja nya maba ka tampat tadukng nang ayak ransukng. Nyangko inak nauan ka rancana apaknya. Jadi iapun maok maan ampus. Ka maraga, apaknya dook bajalatn. Nyangko napati’ manyak sidi tadukng nang ayak-ayak nya nyahuru. Apaknya karepoatn, mati kao nyangkoa ja paknya kadalam ati. Tadukng nang sidi ayak bakata ka nyangko “ kao ame gali’ ka dian boh nyangko “. Ja tadukng koa.
“ auk lah..” Ja nyangko.
Nyangko nya marek sabuah conekng panawar bisa.
Dah lama bajalatn, nya nelek nyangko inak diahe-ahe. Sabantar-sabantar nyamaleki’ anakngya koa. Manggiling agik apaknya. O..janya, ngian inak banar. Kadek leakoa, ampagi kubaba ka sarakng legoh ia, ja paknya dalapm ati.

Dah atakng katumpuk, apaknya babatak kabininya.
“ ampagi kami badua ampus bajalatn agik. Kunelek, anak dirik koa repo bajalatn ka abut-abut “ ja santak mataari nele’ bininya.
“ kadek gagas, ampusa lah. Ati-ati maan “ ja bininya.

Ampaginya, nyangko dipaknya maba agik bajalatn. “ dirik ngagok karake’ . Pulak karake’ koa ada ka sarakng legoh. Kao barani naap ia ? “ janya ka nyangko. “ auklah, aku barani “ ja nyangko.
Dah atakng ka teak karake’, nyangko nelek manyak legoh nang garang-garang, ayak-ayak agik. Pane nya rantak aku, ja dalapm ati nyangko. Apaknya mikiri’, nyangko mati diramuk legoh. Ahe agik ia atakng kasarakngnya. Ngatangan gigi kapangorek , ja dalapm ati paknya.

Inak nya nyangka, leho repo ugak ka nyangko. “ ame kao gali’ boh, nyangko. Kami inak ngahe-ngaheak kao “ ja kata legoh nang sidi ayak.

Nele’ lea koa, apaknya manggiling agik. Inge nyangko dah barinsi’, lalu nya maba apaknya pulakng.
Dah atakng katumpuk, apaknya bakata ka nyangko “ ampagi dirik ngagok gamer boh “ . Uwenya dah ngarati ka dalapm ati lakinya. Ia bakata ka nyangko. Ati-ati boh nyangko. Nauan leakoa, nyangko mangap. Karana ia barani, ia repo maan dimaba apaknya naiki’ gamer ka pucuk binuang nang ada uanyiknya.

Alapm-alapm apaknya dah ngalumpatatn nyangko. Nya dua bajalatn ka udas nang manyak uanyiknya. Nya nele ka pucuk binuang nang sidi tingi ada gamer nang gagas. “ kao naik boh, apak nunggu ka babah “ ja paknya nele nyangko. Nyangko nurutik kata apaknya. Ia tarus naik ka pucuk binuang nkoa. Dah atakng kapucuk, uanyik bakata “ kao ame gali ka kami boh, nyangko. Kami inak nngarusuhi kao. Ngian aku marek pihamakng naik “ ja uanyi nang aya’.

Nele’ inak ahe-ahe, apaknya sakali agik manggiling. Jago sidi kamuda’ ngian. Ampahe agik kanyangian. Ja dalapm atinya. Dah barinsi’ ingenya, nyangko turutn. Ia maba apaknya pulakng ka .
Tumpuk.

Dah atakng ka tumpuk, apaknya maba nyangko balajar bakayo. “ dirik sangkarumangan ampagi “ janya bakatan ka nyangko. Nyangko si kateleanan repo-repo maan ka kamauan apaknya ngian.

Dah gumarek abut, santak mantaari maba ayukng-ayukngnya. Nang badama catek pak caneng, bias pak rega, guranikng, man pak lonos. “ ampagi dirik bakayo “ ja santak mantaari bakata ka catek pak caneng.. Catek pak caneng repo dimaba bakayo koa. Ia maba ayukng-ayukngya ugak.

Dah alapm ari, santak mantaari man nyangko dah bakamas. Nya nongkekng otot ( lea tingkalangk, yak nampat kapala ), bangkiraburayakng man tangkitn. Atakng ka tamat sangkarumengan koa, nya natak buluh bala nang ayak batis. Sakali nyintak, buluh bala koa putus. “ nyangko, kao putusatn buluh bala ngian “ ja apaknya nelek nyangko. Nyangko nyintak tangkitnya, putus ugak buluh bala koa. Apaknya manggiling agik. O.. Kadek leakoa, dirik singkubangan. Jakatanya ka nyangko. Nyalima nyingkubakngi sunge nang ayak. Nya ampat, kateleatn inak sampe nyingkubakngi sunge koa. Nyangko, sakali nyingkubakng, sampe ka subarang sunge.

“ kadek leakoa, talu ari talu malam agik dirik ba lima ngayo ka timpurukng pasuk, ka lamak bagelah, ka akar inak ditatas, ka rabukng na disempok. “ ja santak mantaari ka ayukng-ayukngya.

Dah samak ari nang dinantuatn koa, nya lima manjoat padupuh man mato’ batalo’. Dah siakng abut, jakata santak mantaari “ dirik barangkat “. Nya lima barangkat, batunak-tunaan. Nele pamainan apaknya, nyangko batol-batol maok nele’atna’ ka jagoatnnya ka na’ apaknya man ayukng-ayukngnya. Ia nyangiik talo’, nya macahatn ka tomokngnya. Ia babatak sakit parut ka apaknya. “ aku inak barangkat, barangkat maan kita’ boh. Aku ampeat sakit parut kaja barihak. Aku nunggu ka padupuh maan “ janya. Nyangko nyangiik parutnya, nya nelek dipaknya lubakng tomokng nyangko badarah, balander.
“ o..kadek lea koa kao inak baguna. Kade’ lea ian, kami barampat nang barangkat “ ja apaknya.

Nya ampat barangkat, bajalatn bairihatn. Nelek da’ paknya dah barangkat, sakali nyingkubakng nyangko dah sampe ka tampat nang dinuju apaknya man ayukng-ayukngya. Ia nyancakng kayo. Abis nya nyancakng, nya ngicakng kapal nang aya-aya’. Nya ningalatn manyak kapala nang nek-enek ayak guminting. Ia nangkot agik, pulakng ka padupuh.

Inak lama, apaknya atakng ka tumpuk nang maok dikayo. Dinyanele’ batuma’engan bangke. Nya ngukus kapala-kapala.

Nyangko manjoat diriknya bagurikng-gurikng agik ka padukuh laka’ nyancakng kayo.

Laka’ ngukus kapala kayo, apaknya pulakng ka padukuh.
“ koa tele’, inak tauba’ dikami kapala. Kao inak baguletek “ ja kata apaknya ka nyangko.
“ o.. Nang aya’-aya’ kamae ? “ ja nyangko ka paknya.
“ antah kamae. Ngian ihanya nang kami namu “ ja catek pak caneng.
“ nu’ ku ian. Kapala pangalokngnya. Tele’lah, aya’-aya’ kan ? Ja nyangko. Kita’ dah motek bakasku ngayo…
Nya ampat mangap. Supe’ dinohoi’ nyangko.
“ ampeatn, dirik pulakng ka tumpuk. Aku maok ngicakng uwe’ku ka dunia. Kadek kita’ baik, ampeatn ugak dirik bakayo “ ja nyangko nele; apaknya. Apaknya inak badimauh, ia gali’ ka kajagoatn nyangko.

Dah atakng ka tumpuk, nyangko babatak ka uweknya. Ia maok mabaa’ uwekny pulakng ka dunia. Uweknya maok maan. Dah alapm abut, nya dua turutn kadunia. Nyangko man uwenya lea talino agik.

Tamat

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung rees kecamatan menjalin.

(di kutip dari: http://bilayuk.blogspot.com)
Selengkapnya...

Legenda Bujankg Nyangko 2

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.
Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.

Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin.

(sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com)
Selengkapnya...

Legenda Bujakng Nyangko ( 1 )

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya. “ Hai,..siapa namamu ? “


Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.(Bersambung)

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin
Selengkapnya...

KAMUDA MORENG © 2011. Design by :moreng Edited By : Anto Moreng Create : Moreng