SELAMAT DATANG DI BLOG KAMUDA MORENG

Rabu, 12 Januari 2011

Dayak dalam Imajinasi Politik Elit

diambil dari: http://www.desantara.org/ 2008-03-17


Barangkali kesan atau nasib semacam itu belakangan ini tak nampak lagi. Di mana-mana, di Kalimantan Timur, dan mungkin di bagian lain pulau Borneo ini, Dayak telah menjadi salah satu ikon utama budaya daerah. Beragam artefak dan penanda kultural Dayak bisa kita saksikan hampir di berbagai tempat mendominasi wajah dunia perkotaan.
Coba cermati berbagai gedung dan bangunan fasilitas publik di kota Samarinda dan Balikpapan, seperti gedung pemerintahan, perguruan tinggi, bangunan pasar, dan bandar udara di sana. Ornamen-ornamen khas Dayak menghiasi hampir semua bangunan. Ukir-ukiran, lukisan dan patung-patung, bahkan rumah jabatan (pendopo) Gubernur Kalimantan Timur menggunakan nama lamin etam sebagai sebutan istimewanya. Selain itu lihat pula di pasar-pasar kota. Mudah sekali ditemukan pernik-pernik, souvenir seperti gantungan kunci, tas, patung dan lainnya yang berornamen Dayak dijual bebas.
Semua gambaran tentang modernitas dan kemajuan itu justeru hadir bersamaan dengan menyoloknya citra etnik Dayak yang tradisional dan dulu dicitrakan primitif itu.
Orang Dayak sudah bangkit. Begitu kesan banyak orang melihat gegap gempitanya representasi identitas Dayak dalam ruang publik itu. Apalagi beragam organisasi yang mengatasnamakan komunitas Dayak juga bermunculan. Kebanyakan para elitnya kalau tidak menduduki jabatan penting di birokrasi, sebagian menempati posisi sentral di partai politik.
Tak bisa dimungkiri semua kenyataan ini memperkuat kesan bahwa ekspresi kultural orang-orang Dayak bukan hanya telah terepresentasikan sepenuhnya dalam ruang publik. Di sisi lain mereka juga seolah memiliki akses kekuasaan yang terbuka atau setidaknya terwakili secara politik.
Dulu adalah peristiwa langka bila orang Dayak yang tinggal di kampung terpencil bisa menghadiri kegiatan partai besar, apalagi mengenal kota Jakarta. Tapi, kini, pengalaman macam itu bukan peristiwa yang mustahil lagi.
Awal September lalu, misalnya, seorang pengurus partai besar di Kaltim membawa serta seorang kakek tua warga Ritan menuju Jakarta. Tabang, nama orang itu, yang masih memelihara daun telinganya yang panjang, diajak mengikuti rakernas partai itu. Di Jakarta, lelaki tua ini menjadi tontonan peserta lainnya dan sibuk melayani ajakan foto bersama. Si politikus partai ini pun tersenyum bangga lantaran dipuji habis karena partainya mampu menembus pelosok-pelosok desa tempat tinggal si kakek tua.
Gebyar budaya Dayak sebagai representasi identitas daerah semacam ini rupanya belakangan juga diramaikan oleh berbagai proyek kebudayaan. Keinginan untuk menggerakkan sektor pariwisata sebagai salah satu ladang penghasil devisa turut mendorong pemerintah untuk melakukan revitalisasi. Ritual-ritual, kesenian dan simbol-simbol budaya Dayak direkonstruksi habis-habisan. Seperti terlihat belakangan ini dimana pemda Kutai Kartanegara merencanakan proyek pembangunan lamin-lamin baru di sejumlah desa berpenghuni komunitas Dayak.
Begitulah. Imajinasi tentang Dayak yang dulu dipandang primitif dan terbelakang itu direkonstruksi kembali. Tidak sekadar lewat himbauan dalam pidato-pidato para pejabat, tapi juga lewat promosi-promosi agen pariwisata.


Siapa diuntungkan?

Kalau dicermati, dinamika semacam ini sebetulnya sudah mulai marak tahun 90-an abad lalu. Terutama soal upaya pemerintah untuk menggali sumber devisa alternatif di luar migas.
Selain itu, konteks kebutuhan pariwisata internasional yang memburu keotentikan dan keeksotisan budaya “asli” telah mendorong pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk menghidupkan kembali keunikan tradisinya. Dalam konteks inilah kebudayaan Dayak yang barangkali sebagian sudah mulai ditinggalkan lalu direkonstruksi, direvitalisasi.
Lamin-lamin baru dibangun kembali atas fasilitas pemerintah, yang meskipun merujuk pada model lama yang dianggap “asli” namun kini membawa makna dan fungsi-fungsi baru. Demikian pula simbol-simbol budaya Dayak, seperti patung, ukiran, burung Enggang atau tari-tarian yang dulu hanya bisa kita jumpai dalam upacara-upacara ritual, kini ambil bagian dalam proses komodifikasi tersebut.
Belakangan beragam pertanyaan muncul di tengah gegap gempita “perayaan budaya” ini. Kegelisahan justru muncul dari lubuk hati warga komunitas Dayak sendiri yang tetap hidup miskin di kampung-kampung terpencil.
Fakta semacam yang berikut ini tak sedikit dijumpai di kampung-kampung itu dimana warga Dayak mulai mempertanyakan sendiri perubahan-perubahan yang dihadapinya.
Seorang kontraktor pemerintah yang menggarap proyek pembangunan lamin di Desa Sungai Bawang, Kukar, menuai protes keras dari warga lantaran tak sesuai dengan fungsi tradisionalnya. “Lamin yang dibangun itu tidak sesuai, masak dibangun seperti stadion.,” protes Mama Mona salah seorang penduduk Sungai Bawang. Apa yang dinyatakan sebagai “ketaksesuaian” itu sudah jelas tidak hanya berkenaan dengan bangunan lamin yang menurut warga Dayak sangat asing. Tetapi lebih dari itu karena dianggap tak sesuai dengan nilai dan fungsi rumah panjang itu bagi kehidupan warga Dayak.
Dengan lamin model baru itu dipastikan fungsi sosial dan budaya komunitas Dayak itu akan tergusur. Apalagi terdengar sebelumnya bahwa lamin baru itu nantinya hanya akan difungsikan sebagai tempat pertemuan adat, gelar tari-tarian, atau objek wisata belaka.
Respon ini mau tak mau mendorong komunitas Dayak untuk mempertanyakan kembali seberapa besar keuntungan diperoleh dari kecenderungan-kecenderungan baru ini.
Tak sedikit orang Dayak mengeluh terkait gambaran-gambaran negatif yang direproduksi seputar dirinya di dalam poster-poster pariwisata. Banyak pula yang kecewa lantaran mereka tidak banyak mengunduh untung dari artefak, ornamen dan simbol-simbol ke-Dayak-an yang kini dikonsumsi luas oleh orang-orang kota.
“Banyak patung burung Enggang dipasang di dinding dan puncak-puncak gedung pemerintahan. Tetapi tetap saja kami susah dan tidak berkesempatan hidup sejahtera,” ujar Albert, seorang warga Ritan Tabang.
Kenyataan yang sama juga nyaris terlihat di pasar-pasar dan toko souvenir. Hampir semua penjual pernik-pernik dan hiasan khas Dayak ini didominasi oleh orang Bugis dan Banjar. Hanya sebagian kecil saja orang Dayak yang menjajakan dan menikmati buah warisan tradisi budayanya itu.
Dilema-dilema macam inilah yang hampir pasti dirasakan oleh sebagian besar orang Dayak. Di satu sisi eksistensi diri dan ekspresi budaya mereka seolah diapresiasi secara luas oleh publik. Namun, di sisi lain, mereka justru menghadapi problem lama yang seolah tak pernah terselesaikan.
Mama Wek dan Yurni, misalnya, mengaku revitalisasi itu tak begitu bermakna bagi hidupnya. Bagi perempuan warga Lung Anai ini, pembangunan desa budaya, lamin, dan revitalisasi seni tradisi Dayak hanyalah pengakuan artifisial terhadap tradisi budaya orang-orang Dayak. Karena yang penting bagi dirinya adalah bagaimana mereka bisa hidup tenang, nyaman dan aman di tanah tempat tinggalnya.
“Kalau mereka mengakui tradisi kami, seharusnya mereka juga mengakui hak atas tanah-tanah kami,” tandas Yurni. Ya, memang menjadi sebuah ironi, bila imajinasi politik warga Dayak justeru berjarak lebar dengan imajinasi para elitnya.[] Desantara
Selengkapnya...

Adat Mangkok Merah dan Pamabakng


“Adat Mangkok Merah dan Pamabakng” adalah sebuah judul yang sengaja diangkat dari permukaan, karena adat mangkok merah dan pamabakng telah di kenal oleh masyarakat luas diluar etnis Dayak terutama dalam gerakan meyeluruh masayarakat Dayak takala penumpasan gerakan Paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967. Demikian pula adat Pamabakng yang cukup dikenal karena telah beberapa kali diberlakukan terutama dalam upaya perdamayan akibat kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan Barat dan tragedy berdarah di markas Armet Nagabang beberapa tahun yang lalu. Walupun Adat ini sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat luas, namun adat ini perlu diangkat dalam suatu tulisan demi untuk persamaan presepsi tentang adat itu karena selama ini mungkin terdapat perbedaan presepsi dikalangan masayarakat luas bahkan dikalangan masayarakat Dayak sendiri.
Kedua jenis adat ini mempunyai keunikan tersendiri ibarat dua sisi yang bersebaranagan namaun mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Mangkok Merah adalah adat yang bersifat sakral dan memaksa untuk mengarahkan masa demi tujuan tertentu sementara pamabakng adalah adat yang bersipat sakral yang harus dipatuhi dalam upaya perdamaian akibat adanya suatu komplik berdarah.
Dengan demikian selain bersebrangan dan mempunyai keterkaitan yang sangat erat, kedua adat ini fungsinya seolah-olah bertentangan. Terlepas dari pendapat pro dan kontra secara esensi adat ini perlu dipertahankan dan di lesatarikan, namun apakah ia masih tetap dipertahankan dan dilestarikan, namun apakah ia masih tetap ditaati dan di patuhi terutama di era globalisasi yang serba moderen ini.
ADAT MANGKOK MERAH
Berdasarkan jenis alat peraganya, pada mulanya adat ini bernama mangkok jaranang. Jaranang adalah sejenis tanaman akar yang mempunyai getah berwrana merah. Getah akar jaranang ini di pergunakan sebagai penganti warna cat merah karena pada waktu itu orang belum mengenal cat. Akar jaranang yang berwarna merah ini dioleskan pada dasar mangkuk bagian dalam.
Oleh karena itu ia disebut mangkok merah. Pada jaman dahulu apabila dalam suatu kasus pihak pelaku tidak bersedia di selesaikan secara adat maka pihak ahli waris korban yang merasa dihina dan dilecehkan kehormatan, harkat dan martabatnya atas kesepakatan dan musyawarah ahli waris segera melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut adat mangkok merah. Kasus tersebut biasanya mangkuk menyangkut kasus parakng- bunuh ataupun kasus pelecehan seksual dan lain sebagainya yang sifatnya mengarah kepada pelecehan dan penghinaan terhadap ahli waris.
Alat Peraga dan Maknanya
Alat paraga mangkok merah terdiri dari :
• Sebuah mangkuk sebagi tempat/sarana untuk meletakkan alat paraga lainnya.
• Dasar mangkuk bagian dalam dioles dengan getah jaranang berwarna merah yang mengandung pengertian “ Pertumpahan darah “.
• Bulu/sayap ayam yang mengandung pengertian “ Cepat “, segera, kilat, seperti terbang”.
• Tabur atap daun ( ujung atap yang terbuat dari daun rumbia) mengandung pengertian bahwa yang membawa berita itu tidak boleh terhambat oleh hujan karena ada terinak ( payung ).
• Longkot api ( bara kayu api baker yang sudah di pakai untuk memasak di dapur ) yang mempunyai pengertian bahwa yang membawa berita tidak boleh terhambat oleh petang/gelap malam hari, karena sudah disedikan penerangan api colok dsb.
Alat para mangkok merah dikemas dalam mangkok yang telah diberi warna merah jaranang kemudian di bungkus dengan kain. Beberapa orang yang di tunjuk utnuk menyampaikan berita sekaligus mengajak seluruh jajaran ahli waris itu sebelumnya di berikan arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah itu, siapa saja yang harus ditemui, kapan berkumpul, tempat berkumpul dan lain sebagainya. Tentu saja mereka yang membawa berita mangkok merah tersebut tidak boleh menginap bahkan singah terlalu lamapun tidak boleh. Walau hujan lebat dan petang gelap sekalipun mereka harus meneruskan perjalanannya.
Seperti yang diuraikan dalam pendahuluan, bahwa yang melatar belakangi terjadinya adat mangkok merah itu karena akibat adanya suatu yang tidak mau diselasaikan secara adat oleh pelakunya sehingga dianggap telah menghina dan melecahkan harkat dan martabat ahli waris korban. Damai kehormatan,harakat dan maratabat ahli waris sehingga mereka mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan ahli waris melalui adat mangkok merah. Misalnya seorang yang mati terbunuh apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat maka pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan suatu upaya pembelasan, karena perbuatan sipelaku di anggap telah menentang pihak ahli waris korban dan ia pantas dihajar sebagai binatang karena tidak beradat. Selanjutnya digelarlah adat mangkok mereah seperti yang telah di jelaskan di atas.
Sebagai mana di jelaskan di atas bahwa gerakan mangkok merah muncul untuk membela kehormatan, harkat dan martabat ahli waris yang telah dihina dan dilecehkan. Dengan demikian tentu saja gerakan ini menjadi tangung jawab ahli waris. Menurut masyarakat adat Dayak Kanayatn susunan/turunan page waris samdiatn itu dapat digambarkan menurut garis lurus yaitu :
1. Saudara Sekandung ( tatak pusat ) disebut samadiatn.
2. Sepupu satu kali ( sakadiritan ) di sebut kamar kapala.
3. Sepupu dua kali ( dua madi’ ene’ ) di sebut waris.
4. Sepupu tiga kali ( dua madi’ ene’ saket ) di sebut waris.
5. Sepupu empat kali ( saket ) di sebut waris.
6. Sepupu lima kali ( duduk dantar ) di sebut waris.
7. Sepupu enam kali ( dantar ) di sebut waris.
8. Sepupu tujuh kali ( dantar page ) di sebut waris.
9. Sepupu delepan kali ( page ) masih tergolong waris.
10. Sepupu sembilan kali, dah baurangan tidak tergolong waris.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa yang mulai disebut waris adalah pada turunan sepupu tiga kali atau dua madi’ene’, sehinga mereka yang termasuk dalam turunan ini di anggap sebagai kepala waris atau waris kuat. Merekalah yang berhak memimpin gerakan ini sifatnya mangkok mereah.
Sebagai mana telah di jelaskan dalam pendahuluan maka sifat-sifat yang terkandung didalam adat mengkok merah tersebut adalah :
1. Seluruh acara pelaksanaan adat mangkok merah dari mulai bermusyawarah/mufakat hinga pemberangkatan bala, sarat prilaku-prilaku mistik relegius, oleh karena itu adat bersifat sakral.
2. Pihak ahli waris yang dituju atau yang menerima berita mengkok merah demi menjunjung tinggi harkat dan martabat serta kehormatan ahli waris mereka harus ikut. Apabila mereka tidak ikut, mereka dapat dicap sebagai pengecut dan tidak menaruh rasa malu. Dengan demikaian mereka terpaksa harus ikut. Jadi dalam adat mangkok merah terdapat sifat mengikat atau memaksa.
Menelusuri proses pelaksanaan adat mangkok mereah, ternyata bahwa pelkasanan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah selauruh jajaran ahli waris korban di pimpin oleh ahli waris dua madi’ ene’ sebagai kepala waris. Sedangkan sasarannya adalah pihak pelaku yang tidak bersedia membayar hukuman adat senhinga di anggap telah melecahkan dan menghina pihak ahli waris korban. Apabila bala telah bernagkat menuju sasaran hampir tidak ada alternatif lain untuk pencegahan, kecuali dengan upaya adat dimana pihak pelaku harus memasang adat pamabang.
ADAT PAMABAKNG
Sebagai mana telah diuraikan diatas bahwa adat mangkok merah dan adat pamabang ibarat dua sisi yang berseberangan dan mengandung makna yang bertentangan namun keduanya mempunyai keterikatan yang sangat erat. Telah diuraikan pula pelaksanaan adat mangkok merah mempunyai dampak yang sangat negatif, akan tetapi sebagai alat ia sangat tergantung kepada pemakaiyannya. Dengan demikian ia dapat pula berdampak positif, misalnya penggunaan adat mangkok merah pada saat pemumpasan paraku G-30-S PKI di Kalimantan Barat pada tahun 1967.
Alat Peraga
Sementara itu adat pamabankng mempunyai dampat yang sangat positip mengupayakan penyelasaian komplik sejarah damai. Bala yang akan menyerag setelah mengadakan pengerahan masa melalaui adat mangkok merah. Harus cepat di antisipasi oleh pengurus adat , dalam hal ini temenggung dibantu oleh pasirah dan pangaraga. Mereka harus segera memeberi tahu sekaligus memerintahkan kepada ahli waris di bantu oleh msayarkat kampung untuk memasang adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut :
- 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng banbu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
- Kemudian ada pelantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah.
- 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tampayan jampa.
- Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar.
- Disekitar pamabang terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
- Tempayan jamba melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunauhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku.
- Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian.
- Beras banyu sebagai simbol perampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
- Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh temenggung dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabankng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sanga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta naseihat dsb. Dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.
Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabankng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilangar, masih adalagi pamabnag lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabang terakhir inipun di langar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raganyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabang, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentakangkan arti dan makana pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampisan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menetang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekalai membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di bore baras banyu dan selanjutnya dilakukan persembanhan kepada jubata. Pamabakng teteap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.

Sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com/
Selengkapnya...

KAMUDA MORENG © 2011. Design by :moreng Edited By : Anto Moreng Create : Moreng