SELAMAT DATANG DI BLOG KAMUDA MORENG

Minggu, 16 Januari 2011

Legenda Nek Matas Perkara dengan Hantu

Nek Matas adalah nama seorang manusia yang tinggal disebelah kiri mudik sungai Karimawatn (Sungai Mempawah). Pada jaman Nek Matas,antara manusia dengan hantu masih dapat berkomunikasi sebagai mana layaknya manusia satu terhadap yang lain masa kini.

Pada suatu saat, dimusim orang mau mencari/memilih lahan untuk berladang Nek Matas pun melihat-lihat dan mencari calon lahan yang mau digarap jadi ladang. Ia telusuri sepanjang sungai Malinsapm dan terus mudik menuju kesungai Karimawatn.

Semua tempat yang dicarinya baik dilembah, digunung, dibawas yang berbatu dan berawa semua telah digarap oleh hantu. Meskipun demikian, ia tetap saja menelusuri sungai Karimawatn mudik kehulu sampai tidak lagi menemui ladang garapan hantu. Sampailah ia disebuah tempat yang bernama Nanga Sailo/Kuala Sailo yang kini memang ada, terletak di Kec.Mempawah Hulu.
Disana Nek Matas tidak lagi menemui ladang garapan hantu,maka disitulah ia memutuskan untuk menggarap tanah perladangan dan bertanam padi. Adat untuk membuka ladang dan pondok untuk istirahat dan bermalam dibuat.

Setelah semuanya ini selesai, keesokan harinya Nek Matas mulai menebas kayu yang kecil-kecil dengan menggunakan parang sedangkan kayu yang besar-besar, harus ditebang dengan memakai beliung belum ditebangnya. Setelah beberapa hari tebasan Nek Matas sudah selesai, dan pekerjaan selanjutnya untuk menebang kayu yang besar-besar, yang harus menggunakan beliung tidak mengunakan pisu lagi. Sementara belung yang harus di pergunakan belum diberi bakah (paradahnya), karena Nek Matas belum pandai membuat bakah belung.

Beliung itu dipegang pada putingnya lalu langsung dipotongkan pada kayu yang ditebang, sehingga pekerjaan sangat lambat dan susah dilakukan. Dalam sehari, paling banyak hanya dua atau tiga pohon kayu bisa tumbang atau selesai ditebang. Meskpiun demikian, Nek Matas tetap tabah menggunakan beliuang itu karena memang tidak tahu dan terpikir bagaimana membuat paradahnya.

Kira-kira seminggu bekerja, iapun pulang untuk mengambil bahan makanan yang sudah habis selama bermalam. Kampung Nek Matas bernama Karebet Amali’, yang terletak dikaki bukit Ohak Desa Rees Kec. Menjalin sekarang. Jalan yang dilalui Nek Matas harus melintasi ladang-ladang hantu yang telah selesai ditebangi dan siap untuk dibakar.

Disalah satu ladang hantu yang dilalui Nek Matas, ia melihat sebuah beliung yang lengkap dengan paradah dan baakngnya. Nek Matas tertarik, dan membayangkan kalau alat ini digunakan pasti ia akan cepat menyelesaikan pekerjaan. Karena tidak ada yang melihat, ia mengambil beliung itu.

Nek Matas bergegas kembali ke pondok ladangnya yang agak jauh dari ladang hantu tempat ia mencuri beliung. Ia snagat senang menemukan beliung itu dan disepanjang jalan ia terus –menerus mengamati paradah dan baakng beiung milik hantu itu.

Sesampai dipondok, ia menoleh kearah ujung ladangnya yang sudah dilewati dan ia melihat seorang hantu sedang membuntutinya. Maka cepat-cepatlah ia menyembunyikan beliung supaya tidak terlihat hantu, pemiliknya. Hantu itupun sampai dipondok Nek Matas. Hantu itu kemudian bertanya “ Hai Nek Matas, mengapa engkau mencuri beliungku ? “ sahut Nek Matas “ mana ada aku meganmbil beliungmu “ tapi hantu tahu bahwa Nek Mataslah yang mencuri beliungnya. Iapun mendesak “ pasti kaulah yang mencurinya, saya melihat tidak ada orang lain yang pernah lewat diladangku “. Hantu ngotot mebuduh Nek Matas. Meskipun , Nek Matas tetap tidak mau mengaku. Manusia dan hantu ini bertengkar hebat. Akhirnya hantu memperingatkan “ kalau kau tidak mengembalikan beliungku, aku dan kawan-kawanku akan menghabiskan padimu. Semua hama (pasak, panyal, kadoko’ dan empango) akan kupanggil untuk menyerang semua padimu diladang.” Ancam hantu itu.

Mendengar ancaman itu, Nek Matas berencana mengembalikan beliung yang dicurinya. Toh ia berpikir, paradah dan baakng itu telah ditirunya pula. Tapi lain dengan hantu itu, ia tetap tidak senang dengan ketidak jujuran Nek Matas. Ia berencana menghabisi nyawanya. Hantu tetap menuntut Nek Matas secara adat yang sudah berlaku waktu itu.

Nek Matas tampaknya tidak gentar dengan ancaman hantu itu. Ia pun berkata “ baiklah, terserah kamu. Dimana saja kau menuntut aku, aku akan bersedia. Dan dimana saja kau akan mengadu, aku tidak takut “. Mendengar itu, hantu semakin marah. Kemudian hantu memutuskan tempat perkara di Karebet Amali’, dimana Nek Matas tinggal dengan waktu yang ditentukan hantu.

Setelah sampai waktu yang ditentukan, yakni malam hari, maka Nek Matas dan hantu datang di Karebet Amali’. Dipilihlah sebatang pohon yang paling besar dan sudah ada banirnya. Posisi duduk antara Nek Matas dan hantu bukan berhadap-hadapan, melainkan berlindung dibanir pohon tadi. Jadi keduanya tidak bertatap muka.

Hantu mulai mengajukan sebuah pertanyaan pada Nek Matas. “ mengapa engkau lakukan pencurian beliung ku. Bukankah itu pekerjaan yang tidak benar ?. jawab Nek Matas, “ aku memang tahu kalau mencuri itu perbuatan yang tidak benar, tetapi aku sangat tertarik dengan beliungmu yang ada paradah dan baakngya karena kami tidak pandai membuat itu dan ingin menirunya “. Sekarang, apa maumu terhadapku ? lanjut Nek Matas. Mendengar itu, hantu berani bicara. Katanya “ beliungku kau kembalikan, kalau tidak, semua padi diladangmu di nanga sailo akan kumakan habis. Aku akan menjadi hama seperti pasak, panyualm kadoko’ dan empango.”. jawab Nek Matas “ aku memang akan mengembalikan beliungmu. Tapi aku bingung, kenapa lesung itu tidak pandai berjalan ? “. Nek Matas memang berencana mengalihkan perkara supaya tidak ada keputusan, sedangkan hari semakin larut malam dan menjelang dinihari. Kalau dinihari bahkan sampai siang perkara belum putus, maka hantu tentu akan takut dan menyerah. Pikirnya.

Nek Matas memang tidak takut pada malam, apalagi siang hari. jadi memang siasatnya untuk mengulur-ngulur waktu dengan menanyakan hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal hantu.

Lau jawab hantu “ memang selama ini lesung tidak pernah berjalan, lalu kapan kau mengembalikan beliungku ? “ jawab Nek Matas, selama lesung belum bisa berjalan, selama itu pula beliung ini belum ku kembalikan. Mendengar itu, hantu heran dan marah. “ kalau begitu maumu, baiklah kuambil lesung dan ku buat ia bisa berjalan “ sahutnya dengan muka mengerikan.

Dan memang, lesung itu bisa berjalan. Nek Matas khawatir, tetapi ia tidak kehabisan akal. Belum sempat mengatur siasat, hantu kemudian bertkata “ sekarang kau kembalikan beliungku “. namun tak dijawab Nek Matas. Ia pun bertanya kepada hantu “ selama ini aku belum pernah mewlihat pohon bamatn ada banirnya “. hantupun mulai tidak bisa menjawab pertanyaan itu. “ benar juga, kenapa bamatn tidak ada banirnya biarpun sudah besar ? “ . waktu sudah menjelang dinihari. Saat hening itu, hantu berkata “ Hai Nek Matas, kau sudah kalah ? “. mengetahui hantu tetap mengejarnya, Nek Matas mencari akal baru. “ Oh..aku belum kalah. Aku masih puas berpikir dan aku masih bingun kenapa semua jenis buah ada tangkainya, ada daunnya, ada batangnya tetapi ada sejenis buah yakni telur tidak ada tangkainya, tidak ada daunnya dan tidak ada batangnya ? “ ujar Nek Matas. Hantu keheranan dan takut tidak mampu menjawabnya.

Benar saja, pertanyaan itu tak terjawab hantu. Selain memang tidak tahu, ia takut kesiangan. “ Padahal perkara belum putus “ rungutnya dalam hati. Seusai perkara ini, hantu itu memang berniat untuk menghabisi Nek Matas. Namun hari telah pagi, burung-burung mulai berkicau. Karena itu, hantu merubah dirinya menjadi tenggiling serai (sangat kecil) dan meninggalkan tempat perkara sambil terus menjauh dan berteriak “ ooooo…Nek Matas, ayo ikut aku “. Suara ini jelas didengar Nek Matas, lau dijawabnya “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. Hantu semakin jauh, dan tidak kelihatan lagi.

Sampai kini, masyarakat Dayak yang tinggal dikampung-kampung kalau sedang kehutan dan mendengar panggilan panjang atas namanya, padahal ia tidak tahu siapa yang memanggilnya, maka yang bersangkutan akan menjawab “ nanti dulu, tunggu lesung berjalan, bamatn berbanir dan telur bertangkai “. menurut kepercayaan, kalau tidak dijawab seperti itu, yang bersangkutan akan tersesat dan sakit yang berakibat meninggal dunia.
Selengkapnya...

Legenda Nek Baruakng Kulub

Tersebutlah hidup manusia bernama Nek Panitah dengan istrinya Nek Duniang. Sungguhpun demikian, mereka tidak campur tidur. Nek Panitah kemudian meminta anak. “ Yang-yang Si Julate, aku minta ada manjadiatn anak “ kata Nek Panitah. Tiba-tiba jadilah anak, yang kemudian diberinya nama Baruakng. Karena tidak disunat, maka nama anak itu menjadi Baruakng Kulub.

Setelah cukup besar, Baruakng kecil suka sekali bermain. Ia terus turun ke bumi, untuk bertemu Umang-Umang dan Bulit-Bulit. Mereka bertiga bermain gasing, namun Umang-Umang dan Bulit-Bulit selalu saja kalah. Baruakng tahu bahwa teman-temannya ini masih makan Kulat Karakng ( sejenis jamur/cendawan ), makanya dengan mudah ia mengalahkan mereka.
Pada suatu hari, Baruakng turun lagi kebumi. Ia lupa bahwa dibetisnya, masih terdapat sisa nasi yang melekat. Biji nasi itu terlihat oleh Umang-Umang, lalu langsung diambil dan dimakannya. Tiba-tiba ia merasa segar sekali badannya. Terus bermain, kalahlah Baruakng.
“ Kenapa ya..kamu bisa kalahkan aku ? “ Tanya Baruakng.
“ Ee..aku makan sesuatu yang melekat dibetismu. Apa sih namanya ? “ kata Umang-Umang sedikit bertanya, karena heran.
“ itulah nasi “ jawab Baruakng.
“ Seperti apa sih bentuknya nasi itu ? “ Tanya Bulit-Bulit.
“ O…sebelum nasi, namanya beras. Itulah yang kau makan tadi. Sebenarnya nasi itu tidak ketahuan melekat dibetisku “ kata Baruakng.
“ Cobalah bawakan kami barang itu, kami ingin melihatnya “ Pinta Umang-Umang.
“ payah…nanti bapak ibuku marah. Mereka menilai manusia di dunia tidka hemat. Itulah makanya mereka tidak mau memberi kalian, sebab Piroro ( selau terlantar/tidak terurus baik ).
“ Cobalah..bawakan sedikit saja. Kami ingin sekali melihatnya “ kata Bulit-Bulit.
Karena tersu didesak kedua temannya, segera Baruakng naik lagi ke atas ( dunianya, Sapangko ). Ia berlari hingga sampai ke dangau padi ibunya.
“ Mari pulang. Jangan kamu bawa padi itu, nanti bapakmu marah “ kata Nek Duniang kepada Baruakng. Mereka pulang kerumah.
Besoknya, Baruakng pergi lagi ke dangau padi bersama ibunya yang sedang bekerja sendiri diladang. Diambilnya sebiji padi itu dan disimpan di celana kulitnya. Agar tidak ketahuan bapaknya. Namun ternyata tetap ketahuan, oleh karenanya diambil lagi. Bapaknya marah besar dengan Baruakng. Merasa rindu dengan rteman-temannya, Baruakng turun lagi kebumi dan mengajak Umang-Umang dan Bulit-Bulit bermain gasing.
“ adakah kamu bawa padi itu “ Tanya Umang-Umang.
“ Tidak jadi saya bawa. Sebenarnya telah kubawa padi itu, tapi ketahuan bapakku. Lalu diambil lagi “ kata Baruakng.
“ coba kamu simpan dikulit kepala “ anu”mu “ kata Umang-Umang.
Baruakng segera naik lagi keatas. Ia segera mengambil pad itu dan menyimpannya dikulit kepala “anu”nya. Bergegas Baruakng turun ke bumi menemui Umang-Umang dan Bulit-Bulit.
“ jangan kamu tanam diluar rumah. Tanamlah didapur, agar tidak ketahuan bapakku. “ kata Baruakng berpesan.
Umang-Umang menanam padi itu pada bulan enam, tujuh dan delapan. Setelah cukup besar padi itu, keluar pelepah, keluar anak-anaknya, hingga bunting. Butir-butir padi itu terus menguning dan siap dipanen. Nek Panitah tanpa sengaja melihat kebawah dan terkejutlah ia melihat padi itu.
“ Ha..lihatlah kerja Baruakng. Sudah diberikannya manusia padi itu. Karena kamu tidak memperhatikannya, tidak kamu jaga dia bermain “ kata Nek Panitah kepada istrinya.
“ habis, mau bagaimana lagi ? “ jawab Nek Duniang.
“ itulah kamu. Brengsek, tidak hemat. Tunggu, nanti kubunuh anak itu “ kata Nek Panitah. Menangislah Nek Duniang oleh ucapan suaminya itu, ia takut anaknya dibunuh. Setelah itu, ia bertemu Baruakng.
“ larilah kamu segera, kamu sudah salah karena memberi manusia padi “ kata ibunya kepada Baruakng.
Nek Panitah membuat Pate’ ( ranjau dari potongan kayu diruncingkan untuk membunuh ), berhentilah ibunya menangis. Kemudian tubuhnya bersisik, ia menangisi lagi Baruakng. Dilihatnya ke bawah, dan terlihat Baruakng sangat ingin pulang ke atas untuk bertemu ibu bapaknya. Diturunkannya induk babi betina yang telah tua. Datanglah anaknya itu. Kemudian ia berkata.
“ itulah anak kita telah lai, tinggal adoh ( induk babi betina ) yang terkena pate’ ( ranjau ) ku “.
“ baik-baik kau nak, kalau dijalan yang lurus, tentu kau sampai ke subayatn, dan kalau ke kiri kau akan sampai ke bumi manusia “. Kata Nek Duniang.
Baruakng terus saja berjalan, ia lupa telah berjalan kekanan dan sampailah ia ke subayatn. Di subayatn, ia tertarik dengan Si Putih, gadis subayatn.
“ saya suku kamu, bolehkah kita menikah ? “ Tanya Baruakng.
“ saya juga suka kamu “ kata Si Putih.
Mereka kemudian menikah. Setelah lama menikah, ia teringat ibunya. Karena teramat rindu, ia pulang dan bertemu.
“ Kemana kamu pergi ? “ Tanya ibunya.
“ jalan yang lurus. Istriku si Putih, cantik sekali “ kata Baruakng.
“ pura-pura pulang kamu anakku. Lihatlah gutu ( kutu ) dikepalanya, ada satu rambutnya yang diatas kepala. Cabutlah, terus ia akan benci denganmu “ pesan ibunya.
Terasa pikiran si Putih untuk hamil, segera dilihatnya perutnya telah besar. Dulu, sangat lama menikah dengan Baruakng ia tak kunjung hamil sekarang ia telah hamil. Setelah berumur sembilan bulan sepuluh hari, keluarlah anak itu. Apa yang dilahirkannya ? ternyata segala burung. Heranlah Baruakng.
“ mengapa istriku melahirkan burung banyak sekali ?. sedih sekali aku melihat istriku melahirkan burung. Besok aku harus bertemu ibuku “ ujar Baruakng dalam hati. Keesokan harinya, Baruakng naik lagi ke atas dan bertemu ibunya.
“ bu, mengapa istriku melahirkan burung ? makanan apa yang harus kuberikan mereka nanti ? siapa nanti namanya harus kuberikan ? “ Tanya Baruakng.
“ oh…sebenarnya tidak sulit benar memberinya nama anakku. Tancapkan saja aur ( sejenis bamboo yang daunnya sangat kecil, runcing dan memanjang ) ke ujung pante ( halaman rumah ), lepaskanlah seekor demi seekor. Lepaskan yang tertua, maka berkata Keto. Kemudian Kohor, Caruit, Buria’. Lepaskan lagi yang tertua berkata Biang, kemudian Jantek, Rooh, Jeje, Ansit, Dugal, Tongo’, Adatn, Kijakng ” kata Nek Duniang kepada Baruakng. Itulah langkah-langkah berladang, mengerjakan padi itu, tambahnya.
“ Pulanglah kamu segera dengan istrimu itu. Kamu harus cerai, cabut rambutnya diatas kepala, ia pasti benci dengan mu.” Pesan ibunya lagi.
Kemudian datanglah bapaknya kepada Baruakng.
“ ceraikan saja istrimu itu. Turunlah kamu didunia, mengajar manusia. Kebetulan kamu telah memberi manusia padi. Kamu harus beristri lagi segera “ kata Nek Panitah.
Baruakng turun lagi, dan menikah dengan Jamani, seorang gadis dari dunia. Setelah lama bersuami-istri, Jamani hamil. Setelah cukup umur kehamilannya, ia kemudian melahirkan seorang bayi, yang diberinya nama Kulikng Langit. Kulikng Langit tumbuh dengan cepat, sehingga tidak lama kemudian ia hampir dewasa. Ia senang bermain. Didekat rumahnya, terdapat sebatang pohon langsat. Karena tertarik dan berminat untuk makan buah langsat yang telah masak, ia memanjat poho itu. Baruakng tidak tahu kalau anaknya akan memanjat pohon langsat, karena ia telah bersiap akan naik keatas, menemui orang tuanya.
“ begini istriku, aku akan naik keatas. Kalau anakm telah turun ketanah, katakana padanya, jangan dilanggar kata kakaknya ( keto,jantek dll ). Kalau ia ingin naik atau turun, jangan sekali-kali dilanggar kata kakaknya. Sehala Kohor, Jantek, Keto, Buria’, Biang, Rooh, Jeje. Sebab kalau tidak, ia akan menerima naas “ pesan Baruakng kepada istrinya.
Setelah tahu tidak ada bapaknya, Kulikng Langit masih berminat sekali untuk memanjat pohon langsat untuk mengambil buahnya. Tiba-tiba, Keto terbang tepat didepannya. Ia tahu, tetapi tetap saja ia tidak menghiraukan kata-kata kakaknya. Setelah tiga kali dlarang kakaknya tetap tidak mau, Kulikng Langit tetap memanjat pohon itu. Belum sempat diatas, tiba-tiba ia terjatuh. Tubuhnya hancur menimpa batu, karena tepat diatas batu.
“ ha..mestinya kita harus beritahu ayah “ kata Keto. Setelah itu, mayat Kulikng Langit dibawa keats, menemui Nek Panitah.
“ aku ini tali nyawa, hiduplah kamu “ kata Nek Panitah. Kulikng Langit hidup kembali, tetapi ia kemudian dilarang kembali ke dunia bersama manusia.
“ Ha…kamu Baruakng, turunlah lagi kedunia. Kamu ajarkan palangkahan ( teknik menghindari naas ) segala kata burung kepada manusia “. Kata Nek Panitah. Turunlah Baruakng kedunia. Itulah hingga kini, manusia tetap mengingat kata burung bila ingin mengerjakan sesuatu, terutama bila akan memulai perladangan.
Selengkapnya...

Legenda Dayakng Guliatn

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.

“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.

bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh, aku hamil ? “ kata Dayak Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa yang dikandungnya.
Dengan sifat keibuannya, Dayak Gulinatn, tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki.
Keluarnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai bunyi petir yang sangat keras, disertai hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.

Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah bgerhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.


“ oh…janganlah. Nati tidak enak dengan kampong tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..”

Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.

“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumha “
“ baiklah “

Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang. ( ujatn darakng ).

Dari atas, Santar Mataari, gemetar hatinya melihat kepandaian Dayakng Gulinatn menari. Telah lama ia merindukan kehadiran gadis itu bersamanya. Tapi selalu saja tak ada kesmepatan.
“ nah.. ini kesempatanku mengambilnya “ kata Santak.

Nele’ kapanean dayakng gulinatn, santak mataari gangatar dalapm atinya. Ia dah ngidaman ihanya ka’ dayakang gulinatn kaluar dari kilamunya. Ia ngian maok ngicaknga’ dayakng gulinatn ka’ nagarinya, nang badama sapangko. Pas dayakng gulinatn inak nauan, santak mataari naap ia lalu nya ngicakng tarabakng ka sapangko.


Nele’ dayakang gulinatn dinaap, urakng kampokng bera. Palapi nyambar mandonya, ngibasak santak mataari. Nele’ leakoa, santak mataari dari, tarabakng. Ia inak jadi ditaap.


Akak dayakng gulinatn ngampusi’ ambeknya, gali’ ia ditaap ugak. Ambeknya ngian nya mihara gagas-gagas. Dah sangahe ari, ia batalah. Nya nalah nyangko kamenakatnya koa. Kasih sidi ia ka kamuda’ koa, gik enek dah inak bauwe’. Urakng kampkng repo ka nyangko, jukut pane tarabakng man rehatn kokot. Ia inak repo nele’ urakng kampokngnya kodo. Sangahe kali kampokngnya dinyarakng kayo, nyangko nyalamatatn man baasil ngusir kayo. Repo uralkng kampokng ka ia batambah. Salama lima balas tahutn ia mihara anak dayakng gulinatn. Nele’ kamenakatnya dah aya’, nu’ tuhanya bacurita kade’ uwe’nya dinaap urakng sapangko. “ sabanarnya kao ada ba uwe’. Apa’ nyu aku ugak inak nau’an “ nu’ tuhanya mulai’ bacurita. “ saat kao dimaranakatn, ari ujatn tarus-manarus, siakng ari malaman. Nele’ lea koa, urakng kampokng ngadaatn adat notokng. Samua batariatn, uwek nyu ugak. Karepoatn nari, ia inak sadar kade’ ada nang maok nabanana’nya. Ia dinabanan santak mataari ka sapangko “ curita nu’ tuhanya ka anak dayakng gulinatn.

Nangar curita koa, nyangko maok ngampusiak uwe’nya. Maok sidi ia batamua’ ba ia. Nya matakatn niatnya ngian ka nu tuhanya. “ sampe dimae aku tatap ampusa’ ka sapangko, ngampusiak uwekku “ janya babatak.

“ kamile ba kao barangkata’ “, ja nu tuhanya batanya’.
“ ampagi alapm” ja nyangko.

Alapm-alapm, nu tuhanya dah nyiapatn bahata nyangko. Nele’ dah siap, nyangko tarabakng ka sapangko. Sakali nangkot, ia dah sampe ka sapangko.

Santak mataari ngaruah pumputn, manyakng sidi ia namu ikatn. Satingkalakng ikatnya nya ngicakng pulakng. Karepoatn, ia kalupaatn ka urakng tumpuk. Ia inak nauan nyangko dah atakng katumpuknya ngampusik uwe’nya.
Uwek nya takajut nauan ada kamuda’ ampus ka ia. “ sae kao ngian ? “ janya batanya’. “ aku nyangko “ ja kamuda’ koa. Aku ampusak ka uwe’ku. Dah lama kami inak batamu. Jan nyangko.
“ sae uwe’nyu koa “ tanya’ nang bini koa.
“ damanya dayakng gulinatn, ia dee dinabanan santak mataari “ ja nyangko agik.
“ o..kadek leakoa, akulah uwenyu koa “ ja nang bini koa.
Nauan dah batamu ba uweknya, nyangko nangis. Uweknya nangis ugak. Nya dua batangis-tangisatn. Dah lakak nangis, nyangko batanya’ ka weknya.
“ kamae apakku ? “
“ ia ampus ngawah pumputn. Sabantar agik ia pulakng “ ja wenya.

Dah atakng ka tanga’ tumpuknya, ia nele ada urakng barahu, gik mudak sidi.

“ ngahe kita’ ka dian ? “ janya batanya’.
“ aku ngampusik apakku man uwekku “ ja nyangko.
“ eee..nangkoalah apaknyu “ ja dayakng gulinatn babatak ka nyangko.
“ ame dohok. Sae sabanarnya kamuda’ ngian. Ame pucaya’ doho “ ja santak mataari ka bininya. Manas ia kabininya kalamun pucaya’ ka urakng barahu dinganal.

“ o..ia ngian anakku nang kuningalatn dee ka dalapm kilamu. Aku gik nape’ sampat naap ia, kao dah naikatn aku ka keatn “ ja dayakng gulinatn.

“ kadek leakoa, gagaslah. Dirik barajaki ugak batamu ba ia . E.. Kao, nyangko, makatn boh ikatn ngian kade kao batol anakku “ ja santak mataari nele nyangko. Nyanaap ikatn patukng nang ayaknya ampat jarik. “ ngian, talatn bolat “ janya. Ia maok munuha’ nyangko.

Nyangko naap ikatn pautkng koa, nya nalatn. Nalos. Ua’ ngian ikatn patukng. Nalos. Da’ paknya manggiling nele nyangko labih jago dari ia.

“ kadek leakoa, kao batol anakku “ janya. Lalu nya nyuruh nyangko mabala ikatn nang nya namu. Uweknya tukang suman. Dah masak, ikatn nya makatn batiga. Dah laka’ makatn, “ ampagi dirik mantokng lintongan “ ja kata paknya nele nyangko.
“ au’ lah “ ja nyangko.

Nyangko singaja nya maba ka tampat tadukng nang ayak ransukng. Nyangko inak nauan ka rancana apaknya. Jadi iapun maok maan ampus. Ka maraga, apaknya dook bajalatn. Nyangko napati’ manyak sidi tadukng nang ayak-ayak nya nyahuru. Apaknya karepoatn, mati kao nyangkoa ja paknya kadalam ati. Tadukng nang sidi ayak bakata ka nyangko “ kao ame gali’ ka dian boh nyangko “. Ja tadukng koa.
“ auk lah..” Ja nyangko.
Nyangko nya marek sabuah conekng panawar bisa.
Dah lama bajalatn, nya nelek nyangko inak diahe-ahe. Sabantar-sabantar nyamaleki’ anakngya koa. Manggiling agik apaknya. O..janya, ngian inak banar. Kadek leakoa, ampagi kubaba ka sarakng legoh ia, ja paknya dalapm ati.

Dah atakng katumpuk, apaknya babatak kabininya.
“ ampagi kami badua ampus bajalatn agik. Kunelek, anak dirik koa repo bajalatn ka abut-abut “ ja santak mataari nele’ bininya.
“ kadek gagas, ampusa lah. Ati-ati maan “ ja bininya.

Ampaginya, nyangko dipaknya maba agik bajalatn. “ dirik ngagok karake’ . Pulak karake’ koa ada ka sarakng legoh. Kao barani naap ia ? “ janya ka nyangko. “ auklah, aku barani “ ja nyangko.
Dah atakng ka teak karake’, nyangko nelek manyak legoh nang garang-garang, ayak-ayak agik. Pane nya rantak aku, ja dalapm ati nyangko. Apaknya mikiri’, nyangko mati diramuk legoh. Ahe agik ia atakng kasarakngnya. Ngatangan gigi kapangorek , ja dalapm ati paknya.

Inak nya nyangka, leho repo ugak ka nyangko. “ ame kao gali’ boh, nyangko. Kami inak ngahe-ngaheak kao “ ja kata legoh nang sidi ayak.

Nele’ lea koa, apaknya manggiling agik. Inge nyangko dah barinsi’, lalu nya maba apaknya pulakng.
Dah atakng katumpuk, apaknya bakata ka nyangko “ ampagi dirik ngagok gamer boh “ . Uwenya dah ngarati ka dalapm ati lakinya. Ia bakata ka nyangko. Ati-ati boh nyangko. Nauan leakoa, nyangko mangap. Karana ia barani, ia repo maan dimaba apaknya naiki’ gamer ka pucuk binuang nang ada uanyiknya.

Alapm-alapm apaknya dah ngalumpatatn nyangko. Nya dua bajalatn ka udas nang manyak uanyiknya. Nya nele ka pucuk binuang nang sidi tingi ada gamer nang gagas. “ kao naik boh, apak nunggu ka babah “ ja paknya nele nyangko. Nyangko nurutik kata apaknya. Ia tarus naik ka pucuk binuang nkoa. Dah atakng kapucuk, uanyik bakata “ kao ame gali ka kami boh, nyangko. Kami inak nngarusuhi kao. Ngian aku marek pihamakng naik “ ja uanyi nang aya’.

Nele’ inak ahe-ahe, apaknya sakali agik manggiling. Jago sidi kamuda’ ngian. Ampahe agik kanyangian. Ja dalapm atinya. Dah barinsi’ ingenya, nyangko turutn. Ia maba apaknya pulakng ka .
Tumpuk.

Dah atakng ka tumpuk, apaknya maba nyangko balajar bakayo. “ dirik sangkarumangan ampagi “ janya bakatan ka nyangko. Nyangko si kateleanan repo-repo maan ka kamauan apaknya ngian.

Dah gumarek abut, santak mantaari maba ayukng-ayukngnya. Nang badama catek pak caneng, bias pak rega, guranikng, man pak lonos. “ ampagi dirik bakayo “ ja santak mantaari bakata ka catek pak caneng.. Catek pak caneng repo dimaba bakayo koa. Ia maba ayukng-ayukngya ugak.

Dah alapm ari, santak mantaari man nyangko dah bakamas. Nya nongkekng otot ( lea tingkalangk, yak nampat kapala ), bangkiraburayakng man tangkitn. Atakng ka tamat sangkarumengan koa, nya natak buluh bala nang ayak batis. Sakali nyintak, buluh bala koa putus. “ nyangko, kao putusatn buluh bala ngian “ ja apaknya nelek nyangko. Nyangko nyintak tangkitnya, putus ugak buluh bala koa. Apaknya manggiling agik. O.. Kadek leakoa, dirik singkubangan. Jakatanya ka nyangko. Nyalima nyingkubakngi sunge nang ayak. Nya ampat, kateleatn inak sampe nyingkubakngi sunge koa. Nyangko, sakali nyingkubakng, sampe ka subarang sunge.

“ kadek leakoa, talu ari talu malam agik dirik ba lima ngayo ka timpurukng pasuk, ka lamak bagelah, ka akar inak ditatas, ka rabukng na disempok. “ ja santak mantaari ka ayukng-ayukngya.

Dah samak ari nang dinantuatn koa, nya lima manjoat padupuh man mato’ batalo’. Dah siakng abut, jakata santak mantaari “ dirik barangkat “. Nya lima barangkat, batunak-tunaan. Nele pamainan apaknya, nyangko batol-batol maok nele’atna’ ka jagoatnnya ka na’ apaknya man ayukng-ayukngnya. Ia nyangiik talo’, nya macahatn ka tomokngnya. Ia babatak sakit parut ka apaknya. “ aku inak barangkat, barangkat maan kita’ boh. Aku ampeat sakit parut kaja barihak. Aku nunggu ka padupuh maan “ janya. Nyangko nyangiik parutnya, nya nelek dipaknya lubakng tomokng nyangko badarah, balander.
“ o..kadek lea koa kao inak baguna. Kade’ lea ian, kami barampat nang barangkat “ ja apaknya.

Nya ampat barangkat, bajalatn bairihatn. Nelek da’ paknya dah barangkat, sakali nyingkubakng nyangko dah sampe ka tampat nang dinuju apaknya man ayukng-ayukngya. Ia nyancakng kayo. Abis nya nyancakng, nya ngicakng kapal nang aya-aya’. Nya ningalatn manyak kapala nang nek-enek ayak guminting. Ia nangkot agik, pulakng ka padupuh.

Inak lama, apaknya atakng ka tumpuk nang maok dikayo. Dinyanele’ batuma’engan bangke. Nya ngukus kapala-kapala.

Nyangko manjoat diriknya bagurikng-gurikng agik ka padukuh laka’ nyancakng kayo.

Laka’ ngukus kapala kayo, apaknya pulakng ka padukuh.
“ koa tele’, inak tauba’ dikami kapala. Kao inak baguletek “ ja kata apaknya ka nyangko.
“ o.. Nang aya’-aya’ kamae ? “ ja nyangko ka paknya.
“ antah kamae. Ngian ihanya nang kami namu “ ja catek pak caneng.
“ nu’ ku ian. Kapala pangalokngnya. Tele’lah, aya’-aya’ kan ? Ja nyangko. Kita’ dah motek bakasku ngayo…
Nya ampat mangap. Supe’ dinohoi’ nyangko.
“ ampeatn, dirik pulakng ka tumpuk. Aku maok ngicakng uwe’ku ka dunia. Kadek kita’ baik, ampeatn ugak dirik bakayo “ ja nyangko nele; apaknya. Apaknya inak badimauh, ia gali’ ka kajagoatn nyangko.

Dah atakng ka tumpuk, nyangko babatak ka uweknya. Ia maok mabaa’ uwekny pulakng ka dunia. Uweknya maok maan. Dah alapm abut, nya dua turutn kadunia. Nyangko man uwenya lea talino agik.

Tamat

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung rees kecamatan menjalin.

(di kutip dari: http://bilayuk.blogspot.com)
Selengkapnya...

Legenda Bujankg Nyangko 2

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.
“ Hai,..siapa namamu ? “
“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya.
Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.

Setelah menjadi manusia biasa, dan tiba didunia ini dari Subayatn Sapangko, Bujakng Nyangko berkunjung ke Kampung Pakana (sekarang wilayah Mempawah Hulu-Landak). Di kampung ini hidup sepasang suami istri, yang tidak mempunyai anak. Suaminya bernama Ne Ragen. Sehari-hari Ne Ragen, keluar masuk hutan untuk berburu. Suatu hari (Sore) Ne’ Ragen menunggu binatang buruannya di bawah sebatang pohon beringin (kayu ara), tiba-tiba ia mendengar suara tangisan bayi di atas pohon tersebut. Suara tangisan itu berasal dari bayi yang mati buyu’ (lahir prematur dan meninggal) . Ne Ragen menjadi iba hatinya ketika mendengar tangisan itu. Lalu ia meletakan peralatan berburunya dan naik di atas pohon kayu ara tersebut dan mengambil anak itu, lalu dibawa pulang dan dipeliharanya hingga menjadi dewasa. Anak itu dinamaninya Doakng.
Setelah cukup umur Doakng disunat ketika selesai disunat Doak berpantang, selama tiga hari tiga malam, ia tidak boleh kemana-mana dan tidak boleh memakanan daging binatang sial seperti pelanduk, kijang, rusa sapi dan kambing, serta beberapa jenis pakis tertentu.
Secara kebetulan pada hari ketiga masa berpantang Doakng, datanglah seorang pemuda Laut Pakana, tetangganya (Melayu, saat ini), bertamu ke rumah Ne Ragen. Doakng kemudian berkata “ pamujakng, kade’ kalaparatn basuman ba ka’ dapur diri dikoa, tapi ame me kita’ nyuman kambing man sapi. Kade’ kita nyuman na’ jukut koa, baik kita suman maan ka’ dapur lain. Kade’ kita na’ ngasiatn kata ku nian awas me kita”(Pemuda, kalau kelaparan masaklah di dapur kita tetapi jangan masak sapi atau kambing. Kalu mau memasak barang (sapi/kambing) itu, sebaiknya di dapur lain, Awas kalian kalau tidak menuruti kataku ini” Setelah berpesan demikian, Doakng tidur dengan tangkitn (senjata khas Dayak Kanayatn) yang teransah tajam terselip dipinggangnya dan disampingnya tergeletak sumpit dengan mata sumpit yang diolesi getah ipuh .
Pemuda Laut tadi ternyata tidak menuruti pesan Doakng, ia memasak daging kambing yang dibawanya dari rumah. Apa yang terjadi kemudian pemuda itu berubah menjadi seekor kambing, dan ketika itupula Doakng terjaga dari tidurnya. Sejenak ia lupa diri lalu menghunus tangkitnnya dan memenggal kepala kambing itu, hingga putus. Ketika sadar Doakng terkejut lalu ia berkata “..koa dah putus unang tage’nyu kambingnya, tapi koa ihan Jubata a, buke’ munuh manusia, aku ga’ munuh laok. Ame ia madi mangka’, babangkawar ka’ aku, jukut ia dah mati dijanjinya, diuntukngnya” ( putuslah kini lehermu hai kambing…tetapi itulah wahai Jubata/Tuhan, aku bukan membunuh manusia tetapi binatang, semoga ia tidak menjadi penyakit, menyentuh dan menurunkan hal yang kotor dalam hidupku, karena ia mati sesuai dengan janji dan takdir hidupnya. Doakng kemudian melaporkan kejadian ini kepada orang tua dan sanak-saudara pemuda tadi. “ mau bagaimana lagi, ia sudah meninggal sesuai dengan takdirnya, kuburlah..” demikian kata keluarga si pemuda malang tersebut.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, Doakng minta belajar dan merantau, kepada orang tuanya. Ia kemudian minta dibuatkan kapoa’ bergambar, baju marote (baju tanpa kancing dengan model rompi), otot baukir (tato), jabakng (perisai) dan Tangkitnya. Semula Ne Ragen ayahnya, tidak menyetujui niat anaknya ini, tetapi karena Doakng terus menerus memohon, akhirnya ia diijinkan pergi.
Hari pertama menjelang keberangkatannya merantau Doakng mempersiapkan segala bekal dan perlengkapnnya. Hari kedua ia mato’ (melakukan upacara adat untuk memanggil roh halus/kamang, untuk menyertainya dalam peperangan) minta penyertaan dari Bujang Nyangko, Kamang Lejak dan Kamang Nyado. Rasi (tanda-tanda alam) yang diterimanya setelah mato’ sangat baik, maka ia kemudian berangkat meninggalkan Pakana, subuh, pada hari ketiga. Ia berjalan dan terus berjalan, menuruti langkah kakinya, tanpa tujuan yang pasti. Sesampainya sebuah hutan lebat (udas) ia beristirahat sejenak, lalu membuat jukut diampa’ dan menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh-roh halus penghuni tajur (lereng bukit) gantekng (pertemuan dua dataran tinggi/lembah), bukit yang tinggi, pohon yang besar, seperti ketika ia menyampaikan maksud dan tujuannya pada kamang.
Tidak lama setelah melakukan upacara tadi, disekitarnya terdengar suara krasaak-krusuk yang berasal dari beberapa ekor muis (binatang). Doakng pun bersiul sebanyak tiga kali. Binatang-binatang tersebut kemudian turun ke tanah mencari suara siulan tadi. Doakng kemudian membidikan sumpitnya ke arah seekor muis yang paling dekat dengannya, ia siap menyumpitnya. Tetapi kemudian muis ini tiba-tiba mati. Tidak lama kemudian muncul tiga orang, yang saling berdebat, masing-masing mengakui bahwa dirinyalah yang menyumpit muis tadi. Masing-masing tidak mau kalah “akulah yang menyumpitnya !”. Kata ketiga orang tersebut. Doakng bingung, melihat perdebatan ini. Tetapi akhirnya salah satu dari mereka bertiga, yang ternyata adalah Bujakng Nyangko’ (Kamang yang menjelma menjadi manusia) berkata : “baiklah kita serahkan pada Doakng saja hasil buruan ini, biar dia saja yang memilikinya”.
Setelah mereka bertiga sepakat untuk menyerahkan muis tadi pada Doakng, mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali pada esok paginya di sebuah tempat yang bernama saka tumuk empat (perempatan). “ kade ada nangar tariu tujuh kali, seok tujuh kali dan nguik tujuh kali, ganceh atakng, diri ngayo ka’ Timpurukng Pasuk ka’ Lama Bagenakng, ka’ Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” ( jika mendengar tariu (teriakan perang) tujuh kali, siluan tujuh kali dan nguik (tiuran suara elang) sebanyak tujuh kali, cepatlah kamu datang kita ngayau di Timpurukng Pasuk, di Lama Bagenakng, di Jongong, Tanuk Tangoekng, Dapeh Marada’i” demikian pesan Bujakng Nyangko pada Doakng.
Keesokan harinya, ketika Doakng mendengar kode yang dijanjikan, ia kemudian bergegas pergi ke tempat pertemuan mereka di Saka Tumuk Ampat. Lalu berempat mereka menuju daerah tempat pengayauan. Tiga hari tiga malam lamanya, akhirnya sampailah mereka di sebuah ladang, musuhnya, secara kebetulan disitu ada banyak orang yang sedang bekerja secara gotong royong (balale’). Diantara orang-orang tersebut satu diantaranya adalah pamaliatn (dukun belian), yang mampu menghidupkan mayat. Kempatnya kemudian berperang melawan orang-orang tersebut dan menang. Diantara seluruh korban, hanya satu yang kepalanya kemudian di bawa yaitu kepala si pamalitan tadi.
Oleh ketiga kamang tadi, Doakng disuruh membawa kepala itu dan berpesan kepadanya, bahwa sebelum sampai di rumah, ia harus tariu, bersiul dan nguik, sebanyak tujuh kali. Jangan masuk ke rumah melalui tangga pintu dapur, jangan menyeruak di bawah jemuran, dan tidak boleh langsung masuk ke ruang tamu. Doakng harus masuk melalui tangga depan, dan berhenti di pante dan menari-nari . Kepala harus diletakan pada pahar tembaga, (tempat khusus yang terbuat dari tembaga untuk meletakkan bahan persembahan), lantai dialas bide (tikar dari anyaman rotan dan kulit kayu), diletakan diatas tempayan jampa berukir (tempayan besar), lalu di pasangi pelita.
Ketika sampai di rumah, Doakng menuruti pesan ini, tetapi lain halnya dengan Nyangko, ia lewat dari tepi Pante, dan menari-nari melewati bawah jemuran, seketika itu juga ia tewas. Jasadnya disemayamkan satu hari satu malam, lalu kemudian di kubur. Pada saat itulah Kamang mengajari Doakng (manusia) berpantak. Pantak ditujukan untuk mengganti orang yang sudah meninggal. Arwah orang yang sudah meninggal itu kelak akan tinggal dalam pantak (patung kayu) yang dibuat.
Kamang Nyado, kemudian mengajari Doakng membuat pantak Kamang Nyangko. Riti tujuh jengkal, kayu besi (belian) diukir dengan riti, didoakan dengan seekor ayam jantan berbulu merah, dibentuk (dipahat) dengan tidak dibolak-balik (posisi tetap), dipahat mulai dari kepala. Syarat (pangkaras) untuk membuat pantak adalah ayam jantan berbulu merah satu ekor, parang, beliung, pahat, besi untuk membuat lobang (bor), paha babi satu ekor (dimbil cuma pahanya, babi jantan yang sudah disepih/bantut), lalu dipersembahkan/disangahatn. Doakng melakukan semua perintah kamang Nyado.
Setelah selesai menguburkan jasad Bujakng Nyangko, Doakng kemudian tariu sebanyak satu kali untuk mencari kayu belian sebagai bahan untuk membuat pantak. Setelah dapat ia membawanya ke rumah dan dipahat di pante selama tiga-tiga malam. Baru boleh dimasukan dalam rumah, menjelang senja. Setelah pantak tersebut dimasukan ke dalam rumah, ia memperlakukannya seperti jasad manusia, dimandikan lalu mengurapinya dengan minyak dan kemudian memberinya makan. Setelah itu ia kemudian membunyikan tetabuhan dari agukng (gong) dan dau (bonang), lalu menari. Pantak tadi tiba-tiba seperti bernyawa, lalu menari-nari bersama Doakng, semalam suntuk.
Setelah semua ini selesai Doakng kemudian, mengajari orang tuanya untuk membuat pantak, dan ketika ayahnya meninggal (Ne Ragen), ia membuat pantak seperti yang dulunya ia buat untuk Kamang Nyangko. Pada saat Doakng menari, dan Pantak itu ikut juga menari, ibunya tidak kuasa menahan sedihnya ketika ditinggalkan suaminya (Ne Ragen), dipeluknya Pantak Ne Ragen yang sedang menari tersebut, lalu diciumnya. Hal itu sesungguhnya tidak boleh dilakukan, tetapi semuanya sudah terlanjur. Pantak yang tadinya bisa menari-nari, kemudian diam dan kembali seperti patung kayu biasa.

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin.

(sumber: http://yohanessupriyadi.blogspot.com)
Selengkapnya...

Legenda Bujakng Nyangko ( 1 )

Disebuah rumah panjang dikampung Angus, hidup seorang gadis tua, yang bernama Dayakng Gulinatn. Ia hidup sendiri, meskipun cukup banyak saudaranya yang telah menikah dikampung ini. pada suatu malam, ia bermimpi didatangi seorang pemuda tampan yang baik hati. Pemuda itu turun dari langit, dan tersenyum kepadanya. Ia mengulurkan tangannya kepada Dayakng Gulinatn.“ Saya Dayakng Gulinatn, kamu siapa ? “
“ Saya Santak Mantaari, dari negeri Sapangko Kanayatn”.
bersamaan dengan pemuda itu menyebutkan namanya, hujan turun dengan derasnya yang disertai petir. Karuan saja Dayakng Gulinatn terkejut. Ia sadar, bahwa ia telah bermimpi didatangi pemuda yang baik hatinya dan tampan. “ oh…alangkah indahnya hidup ini bila pemuda itu menjadi jodohku..” kata Dayakng Gulinatn.

Keesokan harinya, Dayakng Gulinatn selalu teringat dengan pemuda itu. Tiada yang lain dipikirkannya, ia semakin rindu dengan mimpi itu. Meskipun tidak menikah, namun tiba-tiba ia hamil. “ hahhhh ……., aku hamil ? “ kata Dayakng Gulinatn heran. Ia menangis sedih, selain takut aib, ia juga takut, bahwa anak siapa sesungguhnya yang dikandungnya.. Meskipun demikian ,dengan sifat keibuannya Dayakng Gulinatn tetap saja memelihara anak dalam kandungannya itu. Setelah cukup sembilan bulan sepuluh hari, lahirlah anak itu. Seorang bayi laki-laki. Lahirnya bayi dari rahim dayakng Gulinatn disertai gelegar petir yang sangat keras, hujan deras. Hujan ini tak pernah reda, malahan semakin deras saja. Berhari-hari lamanya. “ Hai,..siapa namamu ? “


Karena hujan tak juga berhenti, para orang tua dikampung itu mengadakan musyawarah, untuk mendiskusikan langkah-langkah apa yang akan diambil.
“ pasti ada sesuatu dikampung kita ini” kata seorang tua, pemimpin rapat.
“ iya..ya, kalau gadis lain melahirkan, tidak seperti dayakng Gulinatn. Saya pun heran, kenapa hujan terus tak pernah berhenti ? “ kata seorang lainnya, setengah bertanya.
“ kalau begitu, kita Tanya saja kepada Dayakng Gulinatn, ada apa sebenarnya “ kata seseorang lagi.
“ oh…janganlah. Nanti tidak enak dengan kampung tetangga. Menurut saya, ada baiknya kita mengadakan ritual notokng. Mungkin kepala kayo yang disimpan di tingaatn rumah itu marah atas perbuatan kita “ kata pemimpin rapat.
“ baiklah, kalau begitu. Pertemuan ini, mari langsung kita bentuk saja pelaksana ritual itu. “ kata seorang peserta rapat.
“ setujuuuuu..” secara serempak peserta berteriak pertanda setuju.
Malam itu, musyawarah berhasil menyepakati membentuk kepanitiaan untuk penyelenggaraan riual notokng. Semua penduduk bekerja menyiapkan acara itu, tua muda, laki-laki perempuan. Beberapa hari kemudian, persiapan telah selesai. Tempat ritual itu diadakan dihalaman rumah. Selesai ritual, semua penduduk menari. Namun, walaupun telah mengadakan ritual notokng, hujan tetap saja tak berhenti. Aneh, Dayak Gulinant tidak terlihat dipesta itu. Ia tetap saja mengurung dirinya dikamar.
“ o..begitu ya, Dayakng Gulinatn. “
“aneh ya, dia tidak menari ? “
Semua penduduk saling bertanya satu sama lain tentang Dayakng Gulinatn. Melihat situasi itu, seorang pemimpin ritual berkata;
“ coba kamu Palapi jemput Dayakng Gulinatn. Mungkin ia ada dirumah “
“ baiklah “ kata Palapi seraya pergi menjemput Dayakng Gulinatn. Saat itu pula Dayakng Gulinatn Keluar dari dalam Kelambunya dan bergabung dengan warga tumpuk dalam acara ritual tersebut.
Dayakng Gulinantn dengan malu-malu kemudian ikut menari bersama semua penduduk kampong. Tanpa sadar, bayinya telah ditinggalkan didalam kelambu. Semua senang dengan kepandaian dayakng Gulinatn menari. Tiba-tiba hujan berhenti disertai pelangi dan matahari menyinar terang ( ujatn darakng ).

Melihat kepandaian Dayakng Gulinatn, Santak Mantaari gemetar dalam hatinya, yang ia idamkan dari Dayakng Gulinatn supaya keluar dari dalam kelambunya. Ia bermaksud membawa Dayakng Gulinatn ke negerinya yang bernama Sapangko. Ketika Dayakng Gulinatn tidak tahu bahwa ada yang mengintainya, saat itulah Santak Mantaari berhasil menyambar dan membawa Dayakng Gulinatn pergi terbang ke negeri Sapangko.

Melihat Dayakng Gulinatn di culik, orang kampung menjadi begitu marah, Palapi lansung menyambar mandau untuk membuat perhitungan dengan Santak Matari, Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Santak Mantaari lari terbang dan lolos dari kejaran orang kampung.

Melihat kejadian yang menimpa adiknya, kakak Dayakng Gulinatn pergi melihat keponakannya anak Dayakng Gulinatn, ia kuatir keponakannya ikut di ambil oleh Santak Mantaari. Sepeninggal Dayakng Gulinatn, anaknya di pelihara dengan penuh kasih sayang oleh bibinya yaitu kakaknya Dayakng Gulinatn. Setelah beberapa hari, anak Dayakng gulinatn di kasih nama beserta dengan di lakukannya acara sukuran, anak tersebut di beri nama Nyangko. Bibinya sangat prihatin dengan keponakannya, karena masih kecil sudah di tinggalkan ibunya. Orang kampung sangat suka dengan kehadiran Nyangko, karena selain mempunyai banyak kemampuan, juga suka menolong orang-orang kampung tersebut. Nyangko tak ingin melihat kehidupan orang kampung di lilit oleh kemiskinan dan lain sebagainya. Beberapa kali kampung mereka di serang “Kayo” Nyangkolah yang nyelamatkan serta berhasil mengusir Kayo dari kampung mereka. Rasa suka orang kampung terhadap Nyangko semakin bertambah, karena dengan kehadiran Nyangko di kampung mereka keadaan menjadi aman dan tenteram.
Selama lima belas tahun bibinya memelihara Nyangko anak Dayakng Gulinatn, melihat keponakannya sudah beranjak dewasa dan di anggap sudah pantas mengetahui siapa Dia maupun orang tuanya. Bahwa sesungguhnya Nyangko mempunyai ibu, saat ibunya melahirkan Nyangko, hujan deras, petir menggelegar, pokoknya cuaca begitu tak menentu siang hari dan malam hari. Melihat keadaan cuaca yang begitu buruk dan tidak seperti biasanya, orang kampung membuat acara adat “Notokng”. Semua penduduk di kampung tersebut ikut menari tak terkecuali Dayakng Gulinatn ibunya Nyangko, Karena begitu keasyikan menari, Dayakng Gulinatn tidak sadar bahwa dirinya di intai oleh seorang laki-laki untuk di bawa lari ke kampung halamannya. Ibumu di bawa pergi oleh Santak Mantaari ke Negri Sapangko, “tutur bibinya kepada Nyangko”

Mendengar ceritera dari bibinya demikian tragis, Nyangko bermaksud pergi ketempat di mana ibunya berada, ia ingin sekali bertemu dengan ibunya, niatnya tersebut di utarakan sama bibinya. “ bagaimanapun aku harus pergi ke tempat di mana ibuku ke negeri Sapangko apapun resikonya “kata Nyangko kepada bibinya” bibinya tidak mau melarang niat keponakannya tersebut. Bahkan bibinya bertanya kepada Nyangko “kapan kamu mau berangkat” ? pagi besok “jawab Nyangko bertekad”

Pagi-pagi bibinya sudah menyiapkan bekal untuk Nyangko berangkat menuju negeri Sapangko, karena Nyangko memiliki beberapa kepandaian yang di sebut oleh orang kampung “jago” maka sekali melompat, Nyangko sudah sampai di Negeri Sapangko.

Santak Mantaari saat itu sedang membongkar (pumputn) sarang ikan yang terbuat dari timbunan kayu-kayu ladang di tumpuk di setiap lubuk sungai, ikan yang di dapat begitu banyak, satu “tingkalakng” ikannya di bawa pulang, karena begitu senang mendapat begitu banyak ikan sehingga Santak Mantaari lupa pada orang kampung dan keadaannya. Santak Mataaari tidak tahu bahwa Nyangko sudah berada di kampung untuk menjenguk ibunya.

Dayakng Gulinatn kaget melihat ada seorang anak muda datang ke tempatnya, dan bertanya ‘siapa kamu ? “ anak muda tersebut menjawab “aku Nyangko, aku mau pergi ketemu ibuku”
Siapa ibumu ? “tanya Dayakng Gulinatn”. Namanya Dayakng Gulinatn, ibuku tersebut di bawa lari oleh Santak Mantaari, “kata Nyangko”.
O o, kalau begitu akulah ibumu, kata Dayakng Gulinatn.
Karena terharu bertemu ibunya, Nyangko menangis, demikian pula dengan ibunya, mereka berdua saling bertangisan. Dah selesai menangis, Nyangko bertanya pada ibunya, “ kemana ayahku bu” ?, Ayahmu sedang membongkar sarang ikan yang di buatnya dari dahan dan ranting kayu yang di tumpuk pada lubuk-lubuk di sungai, sebentar lagi ayahmu datang, jawab ibunya.
Tak lama kemudian Santak Mantaari datang, sampai di tangga rumahnya, Santak Mantaari heran melihat seorang pemuda yang begitu belia berada di rumahnya. Santak Mantaari bertanya pada pemuda tersebut, “siapa kamu, ngapa di sini” ?
Aku sedang mencari ayah dan ibuku, “jawab Nyangko”
Tiba-tiba ibunya keluar dari dalam, dan berkata pada Nyangko “E e itulah ayahmu nak !
Sabar dulu, ! siapa sebenarnya anak muda ini ?jangan mudah percaya ! kata Santak Mantaari pada istrinya, ia begitu marah sama istrinya karena begitu mudah mempercayai orang asing.
Istrinya berusaha menjelaskan, oh… dia ini anakku yang kutinggalkan dalam kelambu saat kamu membawaku lari beberapa belas tahun yang lalu, aku tidak sempat membawanya, karena kamu merampasku dan membawaku terbang.
Mendengar penjelasan dari istrinya Santak Mantaari seolah-olah ikhlas menerima kehadiran Nyangko dirumahnya.
Baguslah kalau begitu, artinya kita masih mempunyai rejeki untuk bertemu dengan dia kembali, kata Santak Mantaari kepada istrinya. Katanya lagi pada Nyangko, “ sekarang kamu makan ikan ini kalau kau benar anakku, lalu di ambilnya ikan sepat yang paling besar seukuran empat jari, “ini kamu telan bulat-bulat” padahal niat sesungguhnya ingin membunuh Nyangko.

Nyangko mengambil ikan tersebut, tanpa susah payah ikan tersebut di telannya, Santak Mantaari menggelengkan kepala, karena ternyata Nyangko lebih hebat dari dirinya.
“Kalau begitu kamu benar anakku,” Kata Sanatak Mataari. Lalu di suruhnya Nyangko menyiang ikan-ikan yang yang ada, kemudian ibunya memasak, setelah ikan masak mereka bertiga makan bersama. Setelah selesai makan Santak Mantaari berkata pada Nyangko, “besok kita pergi ke hutan mencari kulit kayu”. Iyalah “ jawab Nyangko”.

Keesokan harinya mereka berangkat, Nyangko sengaja di ajak ke hutan yang berpenghuni banyak ular Tedung, Nyangko tidak menyadari akan niat busuk ayahnya untuk mencelakai dirinya, dan ia mau saja di ajak.
Dalam perjalanan ke hutan Ayahnya berjalan lebih dulu karena Ia lebih pahan situasi di hutan tersebut. Nyangko, melihat banyak sekali Ular Tedung lewat melintas di hadapannya dengan ukuran yang cukup besar, dalam hati ayahnya senang dan berpikir bahwa Nyangko akan mati oleh ular-ular Tedung tersebut. Di antara Tedung tersebut ada satu ekor yang paling besar dan berkata pada Nyangko “ kamu di sini jangan takut, kami tidak akan mengapa-ngapakan kamu”. Okelah kata Nyangko. Kemudian oleh raja Tedung, Nyangko di beri bekal sebotol kecil obat penawar bisa.
Sekian lamanya dalam perjalanan, melihat Nyangko baik-baik saja, sebentar-sebentar ayahnya menoleh ke belkang untuk mengetahui keadaan Nyangko, sang ayah kembali salut bercampur gusar menghadapi kehebatan Nyangko, dalam hatinya berkata “ini semakin tidak benar, baiklah besok akanku ajak kesarang Beruang biar dia mampus !

Sesampainya di rumah, Santak Mantaari langsung lapor sama isterinya, bahwa ia akan mengajak Nyangko jalan-jalan kehutan, menurutnya Nyangko sangat sukan di ajak ke hutan.
Kalau memang begitu pergilah, hanya hati-hati, kata isterinya.
Keesokan harinya lagi, Nyangko di ajak ke hutan lagi. “kita mencari sirih di hutan sana, cuman rumpun sirih itu dekat dengan sarang Beruang, apa kamu berani mengambilnya?” tanya ayahnya pada Nyangko. Iyalah, aku berani ! jawab Nyangko.
Sesungguhnya dalam hati Nyangko berpikir keder dan takut, kalau-kalau dirinya habis di cakar Beruang, karena beruang yang terlihat oleh Nyangko begitu besar-besar, banyak dan nampak ganas-ganas.
Dalam benak ayahnya, Nyangko kali ini takkan bisa lagi lolos, kamu pasti mati di cakar oleh beruang-beruang itu, apalagi kamu masuk di sarangnya ibarat ngantar nasib pada maut.

Diluar dugaan Nyangko, kedatangannya seolah-olah di sambut dengan gembira oleh Beruang tersebut, bahkan beruang yang paling besar langsung menghampiri Nyangko dan berkata “kamu jangan takut, kami tidak akan menyakiti kamu apalagi membunuhmu”
Melihat situasi seperti itu, sekali lagi Santak Mantaari ayah Nyangko menggelengkan kepalanya pertanda salut, tempat sirih Nyangko sudah penuh, dan ayahnya di ajak pulang oleh Nyangko.
Setibanya di rumah, ayahnya berkata pada Nyangko,”besok kita pergi lagi ke hutan mencari Gambir”. Mendengar itu ibunya mulai kuatir, karena ia tahu tempat mencari gambir tersebut banyak sarang lebahnya, dan mulai terasa perasaan tidak enak dengan ulah suaminya terhadap anak kandungnya sendiri. Ibunya berpesan Pada Nyangko, “hati-hati ya Nyangko. Setelah mengetahui akal bulus ayahnya, Nyangko pun bingung, namun karena ia pemberani, ia tetap merasa senang di ajak ayahnya, karena memang sifat Nyangko yang ringan tangan. Gambir tersebut tumbuh pada batang kayu Benuang yang cukup tinggi, dan ada sarang lebahnya.

Pagi-pagi sekali Nyangko sudah di bangunkan oleh ayahnya, mereka berdua pergi ke hutan, di mana dalam hutan tersebut memang banyak sarang lebahnya. Ayahnya sengaja membawa Nyangko melihat pohon Benuang yang sangat tinggi, dan gambirnya bagus-bagus. Lalu ayahnya berkata, “Nyangko, ! kamu yang naik, ayah nunggu dibawah. Nyangko nurut saja apa yang di perintahkan oleh ayahnya, Nyangko pun mulai naik diatas pohon Benuang tersebut, setibanya di atas, Raja lebah ngomong dengan Nyangko “jangan takut dengan kami ya Nyangko,” sambil menyerahkan pihamakng (sebentuk barang untuk memperingan badan)
Melihat Nyangko tidak apa-apa untuk kesekian kalinya ayahnya geleng kepala, dan bersungut,dalam hati
“hebat benar anak ini, apa lagi yang harus ku lakukan untuk mencelakainya ?” Setelah penuh tempat gambirnya, Nyangko turun dan mengajak ayahnya pulang.
Setibanya di rumah, ayahnya mengajak Nyangko belajar Mengayau besok kita bermain teka-teki, kata ayahnya pada Nyangko. Nyangko nampak selalu senang dengan kemauan ayahnya.


Sore harinya, Santak Mantaari ayah Nyangko mengajak teman-temannya Mengayau diantaranya bernama Catek Pak Caneng, Bias Pak Rega, Guranikng, dan Pak Lonos, besok kita Mengayau, “kata Santak Mantaari pada Catek Pak Caneng. Catek Pak Caneng merasa gembira di ajak oleh Santak Mantaari Mengayau, dan Catek Pak Caneng mengajak teman-temannya yang lain.
Keesokan harinya, Santak Mantaari dengan Nyangko berkemas-kemas untuk berangkat Ngayau, di pinggangnya diikatkan “Otot” sejenis alat untuk menyimpan kepala Kayau, “Burayakng” sejenis tombak dan “Tangkitn” mandau asli orang Dayak. Sampai di tempat yang mereka tuju, mereka berlima berhenti sejenak, di situlah ayahnya kembali mencobai Nyangko, ayahnya memotong sebatang buluh bala, seukuran betis sekali sentak langsung putus buluh bala tersebut. Nyangko ! kata ayahnya, kamu putuskan bulah bala ini !, Nyangko pun langsung menarik mandau dari sarungnya, dengan sekali sabet buluh bala tersebutpun putus. Lagi-lagi ayahnya geleng kepala. O…. kalau begitu, kita main lompat-lompatan, kita melompati sungai itu kata Santak Mantaari pada Nyangko sambil menunjuk sungai yang cukup besar di hadapannya.. Mereka berlima melompat bersama-sama, mereka berempat tidak mampu melompati sungai besar tersebut, namun sekali melompat Nyangko tiba di seberang sungai.

Kalau begitu, tiga hari tiga malam lagi kita berlima berangkat ngayau, ke “Timpurukng Pasuk, ke Lamak Bagelah, ke Akar ina’ di tatas, ke Rabukng ina’ di Sempo’” (nama tempat dalam bahasa istilah) kata Santak Mantaari kepada teman-temannya termasuk Nyangko.

Mendekati hari yang sudah di tentukan, mereka berlima membuat, pedupu/markas, serta mato’ (ritual adat untuk melemahkan lawan) dengan sebiji telur.
Disiang hari H nya, Santak Matari berkata pada rombongan ngayaunya, “kita berangkat sekarang” mereka berlima pun berangkat, Nyangko mengikuti dari belakang sambil memperhatikan permainan ayahnya. Nyangko benar-benar mau menunjukan kehebatannya pada ayahnya dan teman-temannya. Nyangko bersiasat, telur yng di pegangnya di pecahkan pada pantatnya dan ia bilang ia tidak jadi pergi, karena sakit perut dan berak-berak terus.
Sambil memegang perutnya Nyangko pura-pura kesakitan, ayahnya pun percaya, karena dari pantat Nyangko kelihatan keluar lendir dan darah.
O…. kalau begitu kamu tidak berguna, baiklah…. Kami berempat saja yang berangkat “kata ayahnya”
Mereka berempat langsung berangkat, berjalan beriringan, melihat ayah dan teman-temannya berangkat sudah jauh, Nyangko sekali melompat udah sampai di tempat yang akan di tuju oleh ayahnya. Kayau sudah habis di cincang-cincang oleh Nyangko, kepala yang besar-besar di bawanya, sedangkan kepala yang kecil-kecil di tinggalkannya, setelah selesai Nyangko melompat kembali ke pedupunya, sedangkan ayah dan teman-temannya baru tiba di tempat tujuan yang mau di kayau setelah Nyangko meninggalkan tempat tersebut. Ayah dan kawan-kawannya heran melihat bangkai sudah berseliweran mereka mengemaskan kepala yang di tinggal oleh Nyangko untuk di bawa pulang ke pedupu.
Usai mengemaskan sisa kepala kayau yang Nyangko tinggalkan, ayahnya dan kawan-kawan pulang ke pedupu.
Ini lihat, kepala kayau sampai tak terbawa oleh kami, kamu sendiri tidak berguna karena tidak mau berangkat Ngayau, “kata ayahnya kepada Nyangko.
O… kepala kayau yang besar-besar mana ? kata Nyangko
Entah kemana, hanya ini yang kami dapat, kata Catek Pak Caneng.
Ini punyaku, kepala pangalangoknya (pimpinan perang), lihatlah besar-besar, kalian sudah memungut bekas-bekas yang ku tinggalkan, kata Nyangko kemudian.
Mereka berempat heran dan bertambah bingung, merasa malu di dahului oleh Nyangko.
Sekarang kita pulang ke rumah, aku mau membawa ibuku kembali ke dunia, kalau kalian tidak menyetujuinya saat ini juga kita bekayau, kata Nyangko pada ayahnya. Sepatah katapun ayahnya tidak berbicara, karena ia takut dengan kehebatan Nyangko.
Sesampai di rumah/kampung Nyangko bilang sama ibunya bahwa ia mau mengajak Nya kembali ke Dunia. Ibunya mau saja, pagi hari berikutnya Nyangko dan ibunya turun ke dunia, Nyangko dan ibunya kembali menjadi seperti manusia biasa lagi.(Bersambung)

Sumber cerita : dawen/pak angkis, kampung Rees kecamatan menjalin
Selengkapnya...

KAMUDA MORENG © 2011. Design by :moreng Edited By : Anto Moreng Create : Moreng