SELAMAT DATANG DI BLOG KAMUDA MORENG

Jumat, 07 Januari 2011

Koleksi Lagu-lagu Daerah


1. 07 Sape


Download ka Nian


2. Bengkayang


Download ka Nian


3. Pupu Tagua


Download ka Nian


4. Joget Kantuk


Download ka Nian


5. Pantun Masa Mudaan



6. Dayak 10

Download ka Nian


7. Ramba Menua Only



Selengkapnya...

Rumah Betang dan Nilai Kerukunan yang Mulai Tergantikan

Quantcast
Rumah Betang Lambang Kerukunan Masyarakat Dayak
Selain berupa penanda fisik berupa daun telinga yang panjang dan
banyaknya tato yang tergambar pada tubuh mereka, ada satu hal yang
menjadi kekhasan warga Dayak : rumah Betang/rumah Panjang. Rumah panjang
ini setara dengan nilai kerukunan yang diusung warga Dayak. Para orang
tua Dayak senantiasa menekankan pentingnya kebudayaan Dayak yang berupa
dikap mau berbagi dan hidup rukun dengan para anggota rumah panjang.
Hidup rukun seperti sudah mendarah-daging dalam kehidupan warga Dayak
dahulu. Kerukunan warga Dayak ini seringkali menimbulkan kekaguman dari
warga non-Dayak. Rumah panjang pun kemudian dipandang sebagai sebuah
komponen penting dalam menjaga kerukunan dan hubungan-hubungan yang
lebih akrab. Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang
terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai
yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku.
Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku
Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti
pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari
pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu
suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan sistem barter yaitu
dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak). 1.
Bentuk dan besar rumah Betang berbeda-beda di setiap tempat. Ada yang
panjangnya mencapai 150 meter dan lebarnya mencapai 30 meter. Rumah
Betang umumnya dibangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga
sampai lima meter di atas tanah. Ketinggian Rumah Betang ini
diperkirakan untuk menghindari dan mengantisipasi ancaman banjir yang
sering menimpa daerah-daerah hulu sungai di Kalimantan. Banyaknya Rumah
Betang di suatu pemukiman bisa lebih dari satu, tergantung banyaknya
anggota komunitas di hunian tersebut. Setiap keluarga menempati bilik
yang disekat-sekat dari Rumah Betang yang besar tersebut.
Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah
tangga dan masyarakat diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan
dalam hukum adat. Nilai utama yang  menonjol dalam kehidupan di rumah
Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang
menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. 2.
Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai
suatu perbedaan, mereka menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar
belakang sosial. Budaya Rumah Betang adalah budaya yang menjunjung nilai
kebersamaan, persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa.
Rasa kebersamaan dan persaudaraan tampak setiap ada permasalahan yang
menimpa salah satu penghuni. Jika salah satu anggota keluarga ada yang
meninggal dunia maka masa berkabung mutlak diberlakukan selama satu
minggu bagi semua penghuni dengan tidak menggunakan perhiasan, tidak
berisik, tidak minum tuak dan dilarang menghidupkan peralatan
elektronik. 3.
Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur
menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya
tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung,
tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal
menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Dibeberapa tempat yang
terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para
wisatawan.
Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak lagi hidup dan
dibesarkan di rumah Betang. Kini Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan
di pelosok, pedalaman Kalimantan tanpa mengetahui persis lokasinya.
Pernyataan tersebut tentu saja mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya
tinggal cerita dari tradisi yang berasosiasi dengan keterbelakangan dan
ketertinggalan dari gaya hidup modern. Kini warga desa lebih banyak
tinggal di rumah-rumah individual. Sebagian kalangan tua berpendapat
bahwa tinggal di rumah-rumah individual telah membuat warga menjadi
terlalu individualistik, sesuatu yang sebenarnya bukan ciri masyarakat
Dayak.
Mengenai alasan mengapa warga banyak yang lebih memilih tinggal di
rumah-rumah individual, warga mengatakan rumah individual jelas lebih
baik karena lebih pribadi dan lebih bersih. Pak Din, salah satu warga
yang lebih memilih untuk tinggal di rumah individual berpendapat,
baginya ke-Dayak-an tidak hanya ditentukan oleh sebuah kehidupan yang
rukun tetapi juga oleh hal-hal yang „modern‟, termasuk pendidikan dan
gaya hidup sehat.
Memang, pendapat Pak Din tersebut ada benarnya. Akan tetapi, bukankah
lebih baik kebiasaan tinggal di suatu rumah bersama-sama tetap
dipelihara? Nilai tinggal bersama sesama warga Dayak adalah nilai yang
baik karena tinggal bersama juga menunjukkan keinginan warga untuk hidup
rukun dan tidak menunjukkan ketamakan.
Berlawanan dengan pendapat Pak Din, Pak Pebit, salah seorang kepala
adat di sebuah desa Dayak di pedalaman, menegaskan bahwa konsep-konsep
kerukunan dan kesetaraan harus dipertahankan dan dipelihara karena
konsep-konsep tersebut esensial bagi identitas Dayak. Sekarang, nilai
individualistik telah mulai merasuk dalam jiwa masyarakat Dayak. Hal
itulah yang membuat mereka lebih memilih untuk tinggal di rumah
individual dibanding di Rumah Betang. Hal ini disebabkan karena proses
globalisasi dan modernisasi yang masuk dalam kehidupan masyarakat Dayak,
globalisasi membuat nilai kerukunan yang tadinya menjadi ciri
masyarakat Dayak menjadi pudar dan tergantikan oleh nilai
individualistik. Padahal konsep kerukunan dan tinggal bersama di rumah
Betang dan menghindarkan ketamakan adalah nilai budaya yang esensial
bagi masyarakat Dayak, dan oleh karenanya nilai tersebut seharusnya
dipelihara dan dilestarikan.
Kepustakaan
1. Rumah Betang, Rumah Adat, dan Budaya Dayak yang Hampir
Tersingkirkan,http://fazz.wo rd p ress.co m/2 0 0 7 /0 5 /1 8/
rumah-betang-rumah-adat-dan-budaya-dayak-yang-hampir-tersingkirkan/,
diakses pada 22 Mei 2008, pukul 15.58.
2. Ibid.
3. Rumah Betang Suku Dayak di Ambang Kepunahan. http://www.sinarharapan.co.id/berita/0506/15/sh12.html, diakses pada 18 Mei 2008, pukul 18.58. Selengkapnya...

RUMAH BETANG: Rumah Adat dan Budaya Dayak yang Hampir Tersingkirkan

Terinspirasi dan bersumber dari buku “Pergulatan Identitas Dayak Dan Indonesia: Belajar dari Tjilik Riwut” Penerbit Galangpress, April 2006.

rumah betang
Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak). Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk. Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak.
rumah betang
Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial. Tetapi pada masa sekarang pun banyak orang luar (bahkan orang Indonesia sendiri) beranggapan bahwa suku Dayak adalah suku yang tertutup, individual, kasar dan biadab. Sebenarnya hal ini merupakan suatu kebohongan besar yang diciptakan oleh para colonial Belanda waktu masa perjuangan kemerdekaan Indonesia untuk memecah belah persatuan dan kesatuan terutama di antara suku Dayak sendiri yang pada saat itu menjunjung tinggi budaya rumah Betang. Dan kebohongan tersebut masih dianggap benar sampai sekarang oleh mereka yang tidak mengenal benar orang Dayak. Sebagai contoh, tulisan karya orang Belanda bernama J. Lameijn yang berjudul Matahari Terbit, dimana tulisan tersebut sangat merendahkan martabat masyarakat Dayak. Bagian tulisan itu sebagai berikut. “ …. Setelah habis pertcakapan itu, cukuplah pengetahuan saya tentang orang Dayak. Sebelum itu saya sudah tahu, bahwa orang Dayak itu amat kasar dan biadab tabiatnya. Kalau tiada terpaksa, tiadalah saja berani berjalan sendiri ditanahnya, karena tentulah saja akan kembali tiada berkepala lagi”.
rumah betang
Citra buruk masyarakat Dayak di perparah lagi dengan timbulnya kerusuhan-kerusuhan etnis yang terjadi di Kalimantan yang di ekspos besar-besaran hingga keluar negeri (terutama melalui media internet) tanpa memandang sebab sebenarnya dari kerusuhan tersebut hanya memandang berdasarkan pembantaian massal yang terjadi, seperti kerusuhan di Kalimantan Barat (Sambas) dan Kalimantan Tengah (Sampit dan Palangkaraya). Saya sendiri berada di kota Sampit saat kerusuhan pertama kali pecah tanggal 18 Februari 2001 dan 2 hari kemudian saya berada di Palangkaraya, saat itu saya masih kelas 3 SMP. Berdasarkan pandangan saya atas kerusuhan etnis di Sampit dan Palangkaraya, dimana disini saya tidak berpihak pada suku manapun tapi saya lebih melihat berdasarkan fakta yang ada di lapangan selama saya tinggal di Sampit dari saya kecil hingga saat pecahnya konflik Sampit. Kerusuhan tersebut bukanlah akibat adanya tokoh-tokoh intelektual yang ingin mengacaukan keadaan atau perasaan cemburu suku Dayak karena etnis tertentu lebih berhasil dalam mencari nafkah di Kalimantan, tetapi lebih kepada terlukanya perasaan masyarakat Dayak yang dipendam selama bertahun-tahun akibat tidak di hargainya budaya Betang yang mereka miliki oleh etnis tertentu, hingga perihnya luka tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh masyarakat Dayak dan akhirnya mengakibatkan pecahnya konflik berdarah tersebut. Seharusnya etnis tertentu tersebut lebih memahami pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, bukannya bersikap arogan dan ingin menang sendiri serta tidak menghargai budaya lokal (budaya rumah Betang yang menjunjung nilai kebersamaan, persamaan hak, saling menghormati, dan tenggang rasa ).
rumah betang
Kini, rumah betang yang menjadi hunian orang Dayak berangsur-angsur
menghilang di Kalimantan. Kalaupun masih bisa ditemukan penghuninya
tidak lagi menjadikannya sebagai rumah utama, tempat keluarga bernaung,
tumbuh dan berbagi cerita bersama komunitas. Rumah Betang tinggal
menjadi kenangan bagi sebagian besar orang Dayak. Di beberapa tempat
yang terpencar, rumah Betang dipertahankan sebagai tempat untuk para
wisatawan. Sebut saja, misalnya di Palangkaraya terdapat sebuah rumah
Betang yang dibangun pada tahun 1990-an tetapi lebih terlihat sebagai
monumen yang tidak dihuni. Generasi muda dari orang Dayak sekarang tidak
lagi hidup dan dibesarkan di rumah Betang (termasuk saya sendiri).
Rumah Betang konon hanya bisa ditemukan di pelosok, pedalaman Kalimantan
tanpa mengetahui persis lokasinya. Pernyataan tersebut tentu saja
mengisyaratkan bahwa rumah Betang hanya tinggal cerita dari tradisi yang
berasosiasi dengan keterbelakangan dan ketertinggalan dari gaya hidup
modern.
Dan sekarang, dalam menghadapi kehidupan modern yang sangat
individualis, yang hanya mementingkan kepentingan pribadi, materi dan
penuh kemunafikan, masihkan budaya rumah Betang menjadi tatanan hidup
bersama di Kalimantan ataukah budaya ini akan ikut menghilang seperti
menghilangnya bangunan rumah Betang di Kalimantan. Apapun jawabannya
hanya kita orang Kalimantan yang dapat menentukannya !
dari: veni vidi vici Selengkapnya...

Dayak Bukan Melayu

sumber: http://denmasdeni.wordpress.com/

Tarian Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
Asal kata Dayak sendiri hingga sekarang orang masih berbeda pendapat. Ada yang menyebutnya berasal dari kata ‘Daya’, yang dalam bahasa Kenyah berarti hulu sungai atau pedalaman. Namun ada juga –terutama orang luar Dayak pada abad lalu—yang mengartikannya sebagai head hunters atau pengayau. Hal itu dimungkinkan karena tradisi masa lalu mereka yang suka berperang antarsuku, dengan memenggal kepala musuhnya sebagai perlambang penaklukan sekaligus juga ‘teman’ (bagi mereka, kepala musuh yang sudah dipenggal itu bisa juga diartikan sebagai teman, karena selain bisa pelindung mereka dari roh-roh jahat, juga bisa membawa berkah atau rejeki).Dalam sebuah penelitian, disebutkan, pada mulanya suku Dayak berasal dari Provinsi Yunan, sebuah daerah di selatan China (Mainland). Mereka kemudian bermukim di Apo Kayan, daerah Long Nawan sekarang, dekat perbatasan dengan Malaysia. Kapan datangnya, tidak seorang pun tahu –karena kebudayaan Dayak tidak meninggalkan catatan-cataan tertulis. Setelah itu mereka menyebar ke seluruh pelosok Kalimantan, terutama di sepanjang aliran sungainya.Sedangkan menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
orang dayak
Menurut ahli sejarah, dulunya benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
baliatn
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Selengkapnya...

Tips agar jadi orang SUKSES dari A sampai Z


Ini adalah sebuah artikel menarik tentang "Tips jadi orang sukses dari A sampai Z" dari kiriman seorang rekan. Berikut ini artikelnya.
Menurut pakarnya, manusia sukses tidak cuma dari IQ saja.
Peran EQ (Emotional Intelligence) pada kesuksesan bahkan melebihi porsi IQ. Seorang pakar EQ bernama Patricia Patton memberikan tips bagaimana kita menemukan dan memupuk harga diri, yang disebutnya alfabet keberhasilan pribadi.
Yuk kita lihat apa maksudnya :
A : Accept.
Terimalah diri Anda sebagaimana adanya.
B : Believe.
Percayalah terhadap kemampuan Anda untuk meraih apa yang Anda inginkan dalam hidup.
C : Care.
Pedulilah pada kemampuan Anda meraih apa yang Anda inginkan dalam hidup.
D : Direct.
Arahkan pikiran pada hal-hal positif yang meningkatkan kepercayaan diri.
E : Earn.
Terimalah penghargaan yang diberi orang lain dengan tetap berusaha menjadi yang lebih baik
F : Face.
Hadapi masalah dengan benar dan yakin.
G : Go.
Berangkatlah dari kebenaran.
H : Homework.
Pekerjaan rumah adalah langkah penting untuk pengumpulan informasi.
I : Ignore.
Abaikan celaan orang yang menghalangi jalan Anda mencapai tujuan.
J : Jealously.
Rasa iri dapat membuat Anda tidak menghargai kelebihan Anda sendiri.
K : Keep.
Terus berusaha walaupun beberapa kali gagal.
L : Learn.
Belajar dari kesalahan dan berusaha untuk tidak mengulanginya.
M : Mind.
Perhatikan urusan sendiri dan tidak menyebar gosip tentang orang lain.
N : Never.
Jangan terlibat skAndal seks, obat terlarang, dan alkohol.
O : Observe.
Amatilah segala hal di sekeliling Anda. Perhatikan, dengarkan, dan belajar dari orang lain.
P : Patience.
Sabar adalah kekuatan tak ternilai yang membuat Anda terus berusaha.
Q : Question.
Pertanyaan perlu untuk mencari jawaban yang benar dan menambah ilmu.
R : Respect.
Hargai diri sendiri dan juga orang lain.
S : Self confidence, self esteem, self respect.
Percaya diri, harga diri, citra diri, penghormatan diri akan membebaskan kita dari saat-saat tegang.
T : Take.
Bertanggung jawab pada setiap tindakan Anda.
U : Understand.
Pahami bahwa hidup itu naik turun, namun tak ada yang dapat mengalahkan Anda.
V : Value.
Nilai diri sendiri dan orang lain, berusahalah melakukan yang lebih baik tiap saat.
W : Work.
Bekerja dengan giat, jangan lupa berdoa.
X : X'tra.
Usaha lebih keras membawa keberhasilan.
Y : You.
Anda dapat membuat suatu yang berbeda.
Z : Zero.
Usaha nol membawa hasil nol pula
Selengkapnya...

KAMUDA MORENG © 2011. Design by :moreng Edited By : Anto Moreng Create : Moreng